Santet sering kali menjadi pembahasan hangat di masyarakat. Praktik ini biasanya dikaitkan dengan upaya mencelakai orang lain melalui kekuatan ghaib, menggunakan media seperti jarum, paku, atau boneka yang diyakini mampu memberikan dampak fisik maupun psikis pada korbannya.
Meski memiliki akar dalam budaya lokal, santet sejatinya dapat dikategorikan sebagai bagian dari sihir. Dalam Islam, sihir dilarang keras dan dikategorikan sebagai dosa besar. Al-Qur’an secara tegas menyebutkan tentang sihir dalam surah Al-Baqarah (2) ayat 102.
Ayat ini menceritakan bagaimana setan-setan di masa Nabi Sulaiman mengajarkan sihir kepada manusia, meskipun Nabi Sulaiman sendiri terbebas dari tuduhan tersebut. Dalam ayat itu disebutkan, “Sulaiman itu tidak kafir tetapi setan-setan itulah yang kafir, mereka mengajarkan sihir kepada manusia…”
Sihir diposisikan sebagai perbuatan yang mencelakakan dan tidak membawa manfaat bagi pelakunya, baik di dunia maupun akhirat. Allah juga menegaskan bahwa sihir hanya dapat terjadi dengan izin-Nya, namun siapa pun yang menggunakannya telah menjual dirinya kepada keburukan.
Lebih jauh, tafsir dari Ibnu Katsir memperkuat pengertian ini dengan menyatakan bahwa sihir bukanlah ilmu yang diturunkan oleh Allah, tetapi merupakan perbuatan setan yang mengajarkan keburukan kepada manusia. Ibnu Katsir juga menegaskan bahwa tuduhan terhadap Nabi Sulaiman sebagai ahli sihir adalah fitnah yang ditebarkan oleh kaum Yahudi. Tafsir ini menggambarkan bagaimana sihir memiliki akar kebatilan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai keimanan.
Dalam konteks hukum Islam, mayoritas ulama sepakat bahwa sihir, termasuk santet, adalah haram dan termasuk dosa besar. Rasulullah SAW dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA menyebutkan bahwa sihir adalah salah satu dari tujuh dosa besar yang harus dihindari. Dalam hadis itu, sihir disebutkan setelah syirik, menunjukkan betapa seriusnya pelanggaran ini di mata syariat.
قَالَ الشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ [رواه البخارى ومسلم]
Rasulullah saw menjawab, syirik kepada Allah, sihir, membunuh seseorang yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan jalan yang benar, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang dan menuduh zina terhadap perempuan-perempuan mukmin [H.R. al-Bukhari dan Muslim nomor 6351].
Santet, sebagai praktik lokal, dapat dipahami sebagai aplikasi sihir dalam konteks budaya tertentu. Sementara sihir mencakup cakupan global yang lebih luas, santet memiliki ciri khas dalam metode dan medianya. Namun, esensinya sama: penggunaan kekuatan ghaib dengan niat buruk yang bertentangan dengan nilai-nilai tauhid.
Dalam pandangan Muhammadiyah, sebagaimana dimuat dalam Majalah Suara Muhammadiyah edisi 10 tahun 2011, sihir termasuk ke dalam kategori syirik. Hal ini menegaskan bahwa praktik seperti santet tidak hanya dilarang tetapi juga mengancam akidah pelakunya. Syirik, sebagai dosa terbesar dalam Islam, menjadi alasan kuat mengapa santet tidak dapat dibenarkan dalam kondisi apa pun.
Hukum santet dalam Islam jelas: haram dan bertentangan dengan nilai-nilai tauhid. Meski berakar pada tradisi lokal, praktik ini tidak bisa dilepaskan dari kategorisasi sebagai sihir, yang memiliki konsekuensi berat baik di dunia maupun akhirat.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Hukum Menonton Film dan Bermain Game Bergenre Action atau Magis”, Majalah Suara Muhammadiyah No 13 Tahun 2022.