Dalam kehidupan manusia, ujian atau bala’ merupakan salah satu keniscayaan yang tak terelakkan. Kata bala’ secara etimologis bermakna “menjadi nyata atau tampak”. Salah satu contohnya terlihat dalam firman Allah, “Pada hari dinampakkan segala rahasia” (QS. Ath-Thariq [86]: 9). Kata ini kemudian berkembang maknanya menjadi ujian yang mengungkap kualitas iman seseorang.
Al-Quran menunjukkan bahwa bala’ hadir sebagai bagian tak terpisahkan dari hidup. Allah dengan kehendak-Nya yang mutlak menentukan bentuk, waktu, dan cara ujian tersebut. Firman-Nya dalam QS. Al-Mulk (67): 2 menyatakan, “Dia yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” Tak ada manusia yang luput dari ujian, bahkan para nabi mengalami ujian yang lebih berat.
Menariknya, bala’ tidak selalu hadir dalam bentuk kesulitan. Nikmat dan anugerah yang melimpah juga dapat menjadi bentuk ujian, sebagaimana kisah Nabi Sulaiman yang mengakui bahwa nikmat yang diterimanya adalah ujian untuk mengukur rasa syukur. Allah berfirman, “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk menguji aku, apakah aku bersyukur atau mengingkari nikmat-Nya.” (QS. An-Naml [27]: 40).
Namun, penting untuk memahami bahwa nikmat maupun penderitaan tidak secara otomatis menunjukkan kasih atau murka Allah. QS. Al-Fajr (89): 15-17 menegaskan, “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka ia berkata: ‘Tuhanku telah memuliakanku.’ Namun apabila Tuhannya mengujinya dengan membatasi rezekinya, ia berkata: ‘Tuhanku telah menghinakanku.’ Sekali-kali tidak demikian.” Ayat ini mengingatkan bahwa anggapan sempit seperti itu mencerminkan ketidakpahaman tentang hakikat ujian.
Lebih jauh, bala’ juga memiliki dimensi penyucian jiwa dan peningkatan derajat. Ketika para sahabat gugur dalam Perang Uhud, Allah menjelaskan bahwa kematian mereka adalah cara untuk membersihkan hati dan menguji keteguhan iman.
Firman-Nya, “Dan Allah berbuat demikian untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.” (QS. Ali Imran [3]: 154). Ayat ini menunjukkan bahwa bala’ bukan sekadar cobaan, tetapi juga alat Allah untuk menyempurnakan hamba-Nya.
Dengan demikian, bala’ bukan hanya tantangan, melainkan juga peluang. Kesadaran akan hakikat ini membantu manusia memahami bahwa ujian, baik berupa nikmat maupun musibah, sejatinya adalah bagian dari skenario ilahi untuk mengangkat derajat mereka di hadapan Allah.
Perbedaan antara bala’ dan musibah pun menjadi jelas. Jika musibah seringkali merupakan akibat dari kesalahan manusia, bala’ adalah ujian murni dari Allah yang bertujuan mendekatkan hamba kepada-Nya. Dalam hal ini, setiap bala’ membawa pesan: semakin besar ujian, semakin besar pula potensi kedekatan seseorang dengan Tuhannya.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Musibah dan Bencana, Pertanda Allah Murka?”, https://fatwatarjih.or.id/musibah-dan-bencana-pertanda-allah-murka/, diakses pada Sabtu, 21 Desember 2024.