Setiap kali tahun baru tiba, muncul kutipan hadis yang kerap dikaitkan dengan pesan introspeksi diri. Hadis tersebut berbunyi, “Siapa saja yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia termasuk orang yang beruntung. Siapa saja yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia termasuk orang yang merugi.”
Sayangnya validitas “hadis” di atas masih diperselishkan. Pasalnya, kutipan tersebut tidak ditemukan dalam al-kutub al-mu’tabarah seperti Sahih Bukhari, Sahih Muslim maupun Abu Dawud. Meskipun begitu, makna di balik kutipan tersebut tetap relevan di malam tahun baru bagi banyak orang. Inti pesannya adalah mengingatkan pentingnya usaha untuk terus mengembangkan potensi dalam diri.
Namun, di tengah semangat perubahan ini, disertai persaingan antar individu yang semakin keras, sering kali kita lupa bahwa refleksi tidak harus selalu berarti menuntut diri untuk melampaui segala batas. Bertahan menghadapi kesulitan hidup sepanjang tahun adalah pencapaian besar yang sering luput dari perhatian.
Bertahan dari amukan bos di tempat kerja yang terkadang terasa tidak beralasan adalah sebuah prestasi yang layak dihargai. Tidak semua orang mampu menghadapi kritik tajam yang dilontarkan dengan nada tinggi tanpa kehilangan kendali. Kamu sungguh luar biasa.
Selain itu, menahan diri dari suara-suara nyinyir rekan-rekan kerja yang kerap kali memancing emosi juga bukan perkara mudah. Lingkungan kerja bisa menjadi ladang penuh tantangan, di mana komentar-komentar yang menjatuhkan atau kurang mendukung bisa memengaruhi suasana hati dan produktivitas.
Demikian pula, menghadapi review jelek dari para konsumen yang mungkin tidak puas dengan layanan atau produk, meski kita sudah berusaha memberikan yang terbaik, adalah ujian kesabaran yang tidak ringan. Butuh kekuatan mental untuk tetap menjaga profesionalitas dan memperbaiki diri tanpa terjebak dalam rasa frustrasi.
Karenanya, mampu bertahan di tengah tekanan semacam itu tanpa kehilangan fokus adalah sebuah pencapaian luar biasa. Tidak semua orang bisa melewati berbagai tekanan ini dengan kepala tegak. Dibutuhkan ketangguhan emosional untuk tetap berjalan ke depan, meski langkah terasa berat dan dunia seakan tidak berpihak.
Maka, momen seperti tahun baru adalah waktu yang tepat untuk mengapresiasi diri sendiri atas kekuatan yang telah ditunjukkan sepanjang tahun. Setiap kesabaran, setiap usaha untuk tetap berdiri, dan setiap keberanian untuk menghadapi hari-hari sulit adalah bukti dari keberhasilan yang tak ternilai harganya.
Dengan demikian, momen tahun baru tidak harus selalu menjadi ajang menetapkan resolusi ambisius. Sebaliknya, tahun baru bisa menjadi ruang refleksi untuk mensyukuri apa yang telah dicapai, termasuk keberhasilan kecil yang mungkin terlewatkan.
Dalam konteks keseharian, kita juga bisa mulai bersyukur atas hal-hal sederhana. Bersyukur masih bisa membuka Instagram untuk menikmati konten Lensamu, mengikuti Pengajian Tarjih yang mencerahkan, atau tetap aktif dalam ortom Muhammadiyah adalah bagian dari keberkahan yang patut diapresiasi.
Bahkan, pencapaian pribadi seperti belajar memasak dengan lebih baik, mengembangkan kebiasaan membaca buku, atau sekadar menjaga rutinitas ibadah di tengah kesibukan adalah hal-hal kecil yang tak kalah bernilai. Refleksi semacam ini mengingatkan kita bahwa hidup tidak melulu soal berlari lebih kencang, tetapi juga soal menghargai langkah-langkah kecil yang telah diambil.
Motivasi untuk menjadi lebih baik memang penting. Tapi tidak berarti harus mengabaikan kebutuhan untuk menjaga keseimbangan diri. Terlalu keras memaksa diri, tanpa memperhatikan batas kemampuan, justru berisiko menciptakan tekanan mental yang tidak sehat. Motivasi yang berlebihan semacam itu dapat membuka pintu menuju kelelahan emosional (burnout), bahkan depresi.
Dalam pandangan Abu Zaid Al-Balkhi, depresi memang bagian dari sunnatullah. Ini adalah keadaan yang normal dialami manusia. Tidak ada hubungannya dengan kualitas keimanan seseorang. Namun, jika dibiarkan berlarut-larut, depresi dapat menggerogoti suasana hati dan merusak tatanan kehidupan. Dalam kondisi seperti itu, seseorang akan lebih rentan melakukan hal-hal yang dilarang agama, karena lemahnya kendali atas diri sendiri.
Karenanya, Islam sendiri memberikan perhatian besar pada penghargaan terhadap diri. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tidaklah beriman seseorang dari kalian sehingga dia mencintai untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai untuk dirinya sendiri.” (Lā yuʾminu aḥadukum ḥattā yuḥibba li-ʾakhīhi mā yuḥibbu li-nafsihi).
Hadis di atas mengajarkan bahwa mencintai dan menghargai diri adalah modal dasar dan landasan utama untuk mencintai dan menghargai orang lain. Dengan kata lain, penghargaan terhadap diri sendiri bukanlah bentuk egoisme, melainkan cerminan keimanan yang kokoh. Ketika kita mampu melihat nilai positif dari usaha yang telah dilakukan, kita lebih mudah memandang orang lain dengan penghargaan yang sama.
Menyadari bahwa setiap individu, termasuk diri kita sendiri, memiliki keterbatasan adalah langkah awal menuju keseimbangan hidup. Menghargai diri berarti memahami kapan harus mendorong diri untuk maju, dan kapan harus memberi ruang untuk istirahat.
Bagi kita semua yang telah melewati tahun ini, dengan segala pasang surutnya, bisikkan secara romantis pada diri sendiri:
“Good job! Kita telah bertahan sejauh ini… Terima kasih!”