MUHAMMADIYAH.OR.ID, MEDAN – Ketua Majelis Diktilitbang Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Bambang Setiaji menemukan dua kegelisahan yang dituangkan oleh Haedar Nashir dalam buku Gerakan Islam Berkemajuan.
Temuan dua kegelisahan tersebut disampaikan Bambang Setiaji dalam acara Bedah Buku Gerakan Islam Berkemajuan karya Haedar Nashir pada (20/12) di Kampus Universitas Muhammadiyah Sumatra Utara (UMSU).
Menurut Guru Besar Ekonomi ini, kegelisahan Haedar Nashir yang dia tangkap dalam buku itu adalah masalah ekonomi di Muhammadiyah. Menurut Bambang, potensi ekonomi Muhammadiyah perlu dikonsolidasikan.
Dia menuturkan, meski dicatat sebagai organisasi kaya dengan aset triliunan rupiah, namun kekayaan Muhammadiyah itu tidak berpusat di PP, melainkan tersebar di berbagai Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) dan umat.
Meskipun sirkulasi ekonomi terbesar di Indonesia dikuasai oligarki. Namun kader dan aktivis Muhammadiyah berdiaspora di banyak tempat di korporasi-korporasi besar sampai yang kecil, di sana melalui mereka Muhammadiyah memberikan sumbangsih di bidang ekonomi.
“Jika melihatnya seperti ini, sebenarnya peran sumbangsih ekonomi Muhammadiyah besar sekali. Kalau yang ada di tangan kita ini hanya satu persen saja, tapi yang ada di umat kita itu seratus kali lipat,” ungkap Bambang.
Kegelisahan kedua dari Haedar Nashir dalam buku ini adalah jumlah warga Muhammadiyah yang menurut lembaga survei masih minoritas. Tapi Bambang Setiaji berargumen survei itu tidak sepenuhnya benar.
Merujuk penjelasan Clifford Geertz, Bambang menjelaskan bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan modern tidak banyak diikuti oleh masyarakat petani. Masyarakat petani lebih cenderung berafiliasi dengan Gerakan Islam tradisional.
Bergerak ke arah yang lebih maju, kelompok masyarakat petani ini mengalami penyusutan, mereka jumlahnya saat ini berkisar 28 persen. Sementara 72 persen adalah kelompok masyarakat non petani, bisa jadi pengusaha, birokrat, dan lain sebagainya.
Jika klasifikasi yang dibuat oleh Clifford Geertz ini benar, katanya, lambat laun kelompok masyarakat petani akan habis. Perubahan itu berimplikasi pada semakin kecilnya jumlah umat yang terafiliasi dengan Gerakan Islam tradisional atau antik itu.
“Jadi ke depan jika pertaniannya turun sepuluh persen, mungkin sampai lima persen, maka Muhammadiyah lah di era modern menjadi mayoritas,” ungkapnya.
Namun demikian penambahan jumlah itu tidak serta-merta. Sebab Muhammadiyah memiliki tantangan terkait bagaimana cara mewadahi dan merangkul kelompok metafora dari pertanian ini sesuai dengan alam pikiran Muhammadiyah.
Mengutip Buya Syafii Maarif, Bambang Setiaji berharap supaya Muhammadiyah menjadi tenda besar. Artinya adalah inklusif, tidak boleh Muhammadiyah eksklusif dan terjadi ekskludabilitas atau pengeluaran. Muhammadiyah dituntut untuk mampu bekerja sama dengan banyak pihak.