Pertanyaan mengenai taubat pelaku zina yang belum menjalani hukuman kerap memunculkan diskusi di tengah masyarakat. Dalam konteks ini, penting untuk dipahami bahwa penetapan hukuman adalah wewenang hakim atau qadli, bukan individu.
Hakim menetapkan hukuman berdasarkan dua hal utama: pengakuan pelaku atau kesaksian empat orang saksi yang memenuhi syarat. Konsensus ulama (ijma’) sepakat atas mekanisme ini sebagai dasar penerapan hukum.
Namun, perbedaan pendapat muncul terkait jumlah pengakuan yang diperlukan. Sebagian ulama berpendapat bahwa pengakuan harus dilakukan sebanyak empat kali di hadapan hakim, sebagaimana yang terjadi dalam riwayat tentang Ma’iz, seorang lelaki yang mengaku berzina hingga empat kali. Pengakuan tersebut disampaikan setiap selesai salat di masjid, hingga akhirnya Rasulullah menerima dan memerintahkan pelaksanaan hukuman.
Di sisi lain, ada pendapat yang menyatakan bahwa satu kali pengakuan sudah mencukupi, merujuk pada riwayat tentang seorang perempuan yang mengaku berzina, dan Rasulullah langsung memerintahkan hukuman tanpa disebutkan jumlah pengakuan tersebut.
Dalam kedua pandangan ini, hakim dituntut untuk berhati-hati dan melakukan investigasi menyeluruh terhadap kebenaran pengakuan. Rasulullah sendiri mencontohkan kehati-hatian ini.
Dalam salah satu kisah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim melalui Abu Hurairah, Nabi menerima pengakuan seseorang yang berulang kali menyampaikan dosa zina hingga empat kali dan bersumpah pula sebanyak itu. Kehati-hatian ini diperlukan untuk memastikan keadilan dan menghindari kesalahan dalam penerapan hukum.
Mengenai taubat, ulama sepakat bahwa taubat adalah hak Allah untuk menerima atau menolak. Dalam riwayat yang dikutip dari Ubadah bin Shamit, Rasulullah menjelaskan bahwa siapa saja yang melakukan dosa besar, seperti zina, dan menjalani hukuman di dunia, maka hukuman tersebut menjadi penghapus dosanya. Namun, jika dosa itu tidak diketahui manusia dan pelaku tidak dihukum, maka urusannya diserahkan kepada Allah. Allah memiliki wewenang penuh, apakah akan menghukum atau mengampuni.
Dari sudut pandang ini, pelaku zina yang bertaubat sebelum hukuman dijalankan tetap memiliki harapan diterima taubatnya. Namun, taubat harus dilakukan dengan tulus, memenuhi syarat-syaratnya, yaitu menyesali perbuatan, berhenti sepenuhnya, dan bertekad tidak mengulanginya. Dengan demikian, meskipun hukum dunia belum menyentuhnya, pintu ampunan Allah selalu terbuka bagi siapa saja yang bersungguh-sungguh dalam taubatnya.
Hukum Islam mengajarkan keseimbangan antara ketegasan aturan dunia dan kasih sayang Allah yang tak terbatas. Pelaksanaan hukum menjadi tanggung jawab hakim, tetapi urusan pengampunan menjadi hak prerogatif Allah. Pelajaran terpenting dari kasus ini adalah pentingnya introspeksi diri, kehati-hatian dalam menegakkan hukum, dan keyakinan akan rahmat Allah yang melampaui segala dosa, selama manusia tulus dalam bertaubat.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, “Mengaku Melakukan Zina”, dalam Tanya Jawab Agama IV, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.