MUHAMMADIYAH.OR.ID, LAHORE – Perbedaan kultur menjadi salah satu problema yang sangat sering terjadi dialami oleh keluarga keluarga diaspora Indonesia yang melaksanakan mix married dan bertempat tinggal di luar negeri.
Berumah Tangga dengan warga negara asing bukanlah hal yang mudah. Mulai dari perbedaan budaya, pandangan, argumen, dan lain-lain. Bahkan sering terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami oleh para diaspora Indonesia yang memiliki suami Pakistan.
Melihat isu yang cukup mencuat terkhususnya di Pakistan. Sejalan dengan kunjungan beberapa dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Lusi Nuryanti, dan Bayu Suseno ke Pakistan.
PCIM dan PCIA Pakistan berkolaborasi dengan para civitas akademika tersebut dan KBRI Islamabad dalam pengadaan seminar kesehatan mental bagi keluarga multicultural yang berdomisili di Pakistan.
Acara yang dihadiri juga oleh kepala KUAI KBRI Islamabad, Pakistan secara online bapak Rahmat Indiarta Kusuma disebabkan akses yang sulit untuk masuk ke kota Lahore disebabkan polusi tebal yang menghalangi pandangan pengendara. Beliau pun menyampaikan antusiasmenya yang begitu tinggi perihal isu yang diangkat serta target dari seminar ini yaitu para diaspora yang sering mengalami isu perihal mental dalam hubungan rumah tangga mereka dengan keluarga asing. Sekitar 40 pasangan keluarga diaspora yang berstatus mix married pun hadir dengan penuh antusiasme yang tinggi dalam acara ini. Lusi dalam pemaparan materinya, menyampaikan akan pentingnya kesehatan mental bagi setiap individu.
“Karena kesehatan mental menjadi perkara yang sering sekali diabaikan, padahal dampak dari meremehkan hal tersebut begitu besar, sangat berpengaruh kepada pribadi, dan juga hubungan dengan orang lain,” katanya.
Beberapa Strategi yang ditawarkan oleh ibu Lusi lewat materinya antara lain adalah, komunikasi terbuka, mendorong dialog yang jujur dan terbuka antara pasangan untuk memahami perasaan dan kebutuhan bersama, dan menghargai perbedaan, mempelajari, memahami, menghormati kebiasaan dan nilai-nilai pasangan dari budaya yang berbeda.
Bayu pun menambahkan sedikit materi perihal mekanisme koping. Layaknya tangan yang diminta untuk menahan suatu beban, maka si tangan memerlukan istirahat dari hal tersebut. Begitu pula yang diperlukan oleh mental kita, ia tak mampu terus menerus ditimpa dengan bertubi tubi masalah.
Di akhir acara, Para peserta berharap kepada PCI Muhammadiyah dan Aisyiyah Pakistan semoga program Kesehatan mental bagi diaspora ini dapat berkelanjutan baik secara offline maupun online.
Usulan yang diajukan oleh para diaspora ini akan dipertimbangkan karena manfaatnya yang besar bagi tiap diaspora yang berada di Pakistan. Dan usulan tersebut pun selaras dengan fungsi awal dari didirikannya cabang Istimewa Muhammadiyah di seluruh dunia antara lain, sebagai tempat berkumpul dan bercerita para diaspora yang berdomisili di luar negeri.