MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Badan Pembina Harian Madrasah Muallimin-Muallimat Muhammadiyah Yogyakarta, Habib Chirzin memberikan sambutan reflektif dalam acara Resepsi Milad Muhammadiyah ke-112 dan Madrasah Muallimat Muhammadiyah ke-106 pada Ahad (24/11).
Dalam pidatonya, Habib menyebut perjalanan Muhammadiyah sebagai sebuah “perjalanan peradaban yang panjang” atau the long civilizational journey. Ia mengenang sejarah keluarganya yang berakar dalam tradisi pendidikan Muhammadiyah.
“Ibu saya menjadi murid Muallimat tahun 1937 hingga 1942. Tidak terbayangkan ada Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah seperti sekarang ini dengan segala amal usahanya tanpa adanya Madrasah Muallimin dan Muallimat,” ujarnya.
Habib menekankan bahwa lembaga-lembaga ini telah menjadi bibit unggul yang melahirkan kader Muhammadiyah di seluruh penjuru Indonesia bahkan hingga mancanegara.
Habib juga menyoroti konsep integrasi ilmu yang sejak awal menjadi ciri khas pendidikan di Madrasah Muallimin dan Muallimat. “Perbedaan mendasar antara sekolah ini dengan sekolah Belanda pada masa itu adalah integration of knowledge. Tidak ada pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa konsep ini kini diadopsi oleh banyak universitas Islam, seperti Universitas Islam Negeri (UIN) yang menerapkan pendekatan interkonektivitas dan spiritualisasi ilmu.
Dalam sambutannya, Habib menekankan pentingnya pendidikan berbasis asrama untuk mencetak kader pemimpin. “Sekolah yang tidak berasrama sebenarnya sedang tidak mempersiapkan kader, pemimpin, atau pendidik yang sungguh-sungguh,” tegasnya.
Ia juga menyoroti peran Muhammadiyah sebagai Global Civil Society yang terus berinovasi untuk menghadirkan peradaban baru berbasis ilmu dan kemanusiaan.
Habib mengapresiasi peran Madrasah Muallimat sebagai model pendidikan perempuan yang mendukung kesetaraan gender, khususnya dalam bidang politik dan kehidupan publik. “Madrasah ini, sejak awal berdirinya, sudah berpihak kepada kesetaraan gender. Ini bukan soal laki-laki atau perempuan, tetapi urusan publik yang menyentuh kepentingan bangsa,” katanya.
Mengakhiri sambutannya, Habib menceritakan kisah heroik ibunya, seorang lulusan Muallimat, yang pada masa penjajahan Jepang menjadi Ketua Nasyiatul Aisyiyah. Ia memimpin pelepasan Laskar Hizbullah ke medan perang. “Ibu saya diminta memberikan komando agar keluarga rela melepas anaknya untuk berjuang. Inilah bukti nyata kaderisasi Muhammadiyah,” kenangnya.
Acara ini juga menampilkan tarian tradisional, lagu-lagu, dan kesenian lainnya yang menggambarkan pendidikan terpadu berbasis budaya. Habib menyebutnya sebagai model pendidikan yang layak ditiru oleh generasi mendatang. “Muallimat telah menunjukkan bagaimana pendidikan dapat menjadi pilar peradaban bangsa,” pungkasnya.