MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Syamsul Anwar, menegaskan pentingnya wawasan tajdid dalam memahami ajaran agama di era modern. Dalam kajian Ahad pagi yang diadakan di Masjid Kiai Sudja pada Ahad (28/07), ia menyatakan bahwa Muhammadiyah mengedepankan perspektif yang melihat ke depan, bukan terjebak pada masa lalu.
“Muhammadiyah itu berwawasan tajdid, jadi bukan wawasan kaum Salaf, tetapi wawasannya tajdid melihat itu ke depan. Kita memahami agama dalam perspektif kebutuhan kita di hari ini dan hari yang akan datang,” ungkap Syamsul. Ia menjelaskan bahwa contoh penerapan wawasan tajdid ini dapat ditemukan dalam Putusan Tarjih, terutama dalam bidang fikih.
Syamsul menyoroti pandangan yang berkembang mengenai peran perempuan dalam kepemimpinan. Ia menegaskan bahwa, berdasarkan hadis yang menyatakan, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang mengangkat perempuan sebagai pemimpinnya.” Menurutnya, hadis ini harus dipahami dalam konteks yang lebih luas.
Syamsul menjelaskan bahwa hadis tersebut berkaitan dengan kondisi sosial dan budaya di zaman Nabi Muhammad, di mana perempuan pada umumnya tidak memiliki pengalaman di ranah publik. “Karena di zaman beliau, kecuali satu dua orang, umumnya perempuan tidak memiliki pengalaman publik. Mereka lebih banyak hidup dalam ruang domestik. Artinya, keinginan Rasulullah adalah agar pemimpin memahami dunia di luar rumahnya sendiri,” jelas Syamsul.
Ia juga menjelaskan bahwa dalam konteks Muhammadiyah, keputusan Majelis Tarjih dan Tajdid pada tahun 1976 membolehkan perempuan menjadi pemimpin, mencerminkan orientasi organisasi yang lebih maju. “Jadi, pada tahun 1976, Majelis Tarjih memutuskan boleh perempuan menjadi pemimpin. Ini bukan hal baru, tetapi sudah hampir setengah abad yang lalu,” tambahnya.
Syamsul menekankan pentingnya keahlian dalam kepemimpinan. “Boleh perempuan menjadi pemimpin sepanjang terpenuhi syarat keahlian dalam bidang yang dipimpin. Ini berlaku untuk laki-laki juga; jika tidak paham, tidak layak untuk memimpin,” tegasnya.
Dalam kajiannya, Syamsul juga menekankan metode memahami hadis. Ia menjelaskan bahwa hadis tidak bisa dipahami secara terpisah, melainkan harus dihubungkan dengan ayat Al-Qur’an, hadis-hadis lain, dan kaidah-kaidah yang ada.
“Jadi, ada wawasan tajdid yang berorientasi ke depan, tidak berorientasi ke belakang. Dan sumber-sumber pemahaman agama tidak hanya Al-Qur’an dan Sunah, tetapi juga sumber-sumber paratekstual yang menjadi pendamping,” tutupnya.
Dengan demikian, Syamsul Anwar menegaskan bahwa Muhammadiyah terus berkomitmen untuk memahami dan mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan perkembangan zaman, sekaligus menegakkan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan di tengah masyarakat.