Setelah jenazah dikuburkan, umat Islam dianjurkan melakukan beberapa amalan sebagai wujud penghormatan terakhir sekaligus doa bagi yang telah berpulang. Salah satunya adalah berdoa. Dalam Tanya Jawab Agama jilid 2 halaman 171, dijelaskan bahwa menurut riwayat Abu Dawud, setelah selesai memakamkan jenazah, Nabi Muhammad Saw meminta para sahabat untuk mendoakan jenazah.
عَنْ عُثْمَانَ رضي الله عنه قَالَ: كَانَ رَسُولُ اَللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ وَقَالَ: اِسْتَغْفِرُوا
لِأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ التَّثْبِيتَ, فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ [رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَصَحَّحَهُ الْحَاكِم]
“Dari ‘Usman bin Affan r.a. [diriwayatkan] bahwa Nabi saw. apabila telah selesai mengubur jenazah, maka beliau berhenti/berdiri di dekat kubur itu dan berkata: Mohonkanlah ampun dan keteguhan hati bagi saudaramu ini karena ia sekarang sedang ditanya” [HR. Abu Dawud].
Dalam praktiknya, doa ini bisa dilakukan baik secara berdiri maupun duduk, sesuai dengan kata “waqafa” dalam hadis yang berarti berhenti atau berdiri. Ini menegaskan bahwa yang dianjurkan setelah pemakaman adalah mendoakan jenazah, bukan membaca talqin.
Selain berdoa, amalan lainnya yang disunahkan ialah takziah. Amalan ini bertujuan untuk menghibur dan menenangkan keluarga yang berduka. Makna kata “takziah” sendiri berasal dari kata “‘azza” yang berarti sabar, menegaskan tujuan utama dari amalan ini, yakni menyabarkan keluarga yang ditinggalkan.
Dalam Tanya Jawab Agama jilid 2 halaman 168 dijelaskan bahwa kehadiran takziah tak hanya untuk memberi dukungan moral, tetapi juga meringankan beban keluarga yang ditinggal. Sejalan dengan itu, tetangga dan kerabat dekat dianjurkan untuk membuatkan makanan bagi keluarga yang sedang berduka.
Waktu pelaksanaan takziah tidak terbatas pada tiga hari setelah kematian, meskipun masa berkabung bagi keluarga umumnya selama tiga hari. Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad menunjukkan bahwa Nabi Saw melakukan takziah kepada keluarga Ja’far lebih dari tiga hari setelah kematian, yang menjadi bukti kelonggaran waktu bagi umat Islam dalam melaksanakan takziah.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ جَعْفَرٍ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم أَمْهَلَ آلَ جَعْفَرٍ ثَلاَثًا أَنْ يَأْتِيَهُمْ ثُمَّ أَتَاهُمْ فَقَالَ لاَ تَبْكُوا عَلَى أَخِى بَعْدَ الْيَوْمِ. ثُمَّ قَالَ ادْعُوا لِى بَنِى أَخِى. فَجِىءَ بِنَا كَأَنَّا أَفْرُخٌ فَقَالَ ادْعُوا لِى الْحَلاَّقَ . فَأَمَرَهُ فَحَلَقَ رُءُوسَنَا [رواه أحمد]
“Dari Ubadah bin Ja’far [diriwayatkan], bahwa Nabi saw menunda untuk menjenguk keluarga Ja’far setelah tiga hari. Ketika beliau mendatangi keluarga Ja’far, beliau berkata: Janganlah kalian menangisi saudaraku sesudah hari ini. Kemudian ia berkata, panggillah kedua putra saudaraku itu. Kemudian didatangkanlah kami seperti seekor unggas. Beliau berkata, Datangkanlah kepadaku tukang cukur. Kemudian didatangkanlah tukang cukur kepada beliau, maka beliau memerintahkannya mencukur rambut kepala kami” [HR. Ahmad].
Berbeda dengan amalan doa dan takziah, tahlilan dan yasinan pada malam-malam tertentu seperti hari pertama, ketiga, hingga seribu hari setelah kematian, kerap menjadi perdebatan. Pada Tanya Jawab Agama jilid 2 halaman 173 disebutkan bahwa tidak ada dalil baik dari Al-Qur’an maupun hadis yang mendasari amalan ini.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Aisyah, Nabi Saw bersabda, “Siapa saja yang mengerjakan suatu perbuatan (agama) yang tidak ada perintahku untuk melakukannya, maka perbuatan itu tertolak.” Hal ini menunjukkan bahwa Islam mengarahkan umat untuk tidak melakukan amalan yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
Selain tidak adanya dalil, praktik tahlilan ini sering diikuti dengan pemberian makanan atau bahkan uang dari pihak keluarga kepada hadirin, yang justru dapat memberatkan keluarga. Nabi Saw mengkritik keras kebiasaan meratapi jenazah atau niyahah, yang disamakan dengan tradisi jahiliyah. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Abu Malik al-Asy’ari, Nabi Saw menyebutkan bahwa meratapi jenazah adalah salah satu kebiasaan jahiliyah yang masih ada di tengah umat dan harus dihindari.
عَنْ أَبِي مَالِكٍ الأَشْعَرِي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرْبَعٌ فِى أُمَّتِى مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِى الأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِى الأَنْسَابِ وَالاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ وَقَالَ النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ [رواه مسلم]
“Dari Abu Malik al-Asy’ari [diriwayatkan] bahwa Nabi saw. bersabda: Empat hal yang terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan jahiliyah yang susah untuk ditinggalkan: (1) membangga-banggakan kebesaran leluhur, (2) mencela keturunan, (3) mengaitkan turunnya hujan kepada bintang tertentu, dan (4) meratapi mayit (niyahah). Lalu beliau bersabda: Orang yang melakukan niyahah bila mati sebelum ia bertaubat, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dan ia dikenakan pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal” [HR. Muslim].
Dengan demikian, dalam menjalankan ibadah terkait pemakaman, umat Islam hendaknya berpegang teguh pada sunnah yang sudah jelas seperti doa dan takziah, tanpa menambah ritual-ritual yang tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama jilid II, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, “Kewajiban Terhadap Jenazah”, tarjih.or.id/kewajiban-terhadap-jenazah/, diakses pada Kamis, 14 November 2024.