Rasulullah Saw telah meninggalkan warisan tentang mengelola gangguan mental. Para cendekiawan Muslim kemudian mengembangkan pemahaman tentang jiwa manusia dan kesehatan mental secara umum. Dari abad ke-7 hingga ke-15 Masehi, kota-kota seperti Baghdad menjadi tempat di mana berbagai ilmu, termasuk ilmu jiwa, dikembangkan dengan integrasi dari berbagai sumber pengetahuan (Osman Bakar, 2015).
Para cendekiawan Muslim mengambil dua pendekatan utama dalam memahami jiwa dan kesehatan mental. Pendekatan pertama adalah dengan menerjemahkan karya-karya dari peradaban Yunani, Persia, dan India ke dalam bahasa Arab. Mereka menyaring apa yang tidak sesuai dengan teologi Islam dan kemudian menambahkan wawasan baru berdasarkan ajaran Islam.
Salah satu contohnya adalah Al-Kindi. Filsuf Arab yang hidup pada abad ke-9 Masehi ini dikenal sebagai salah satu tokoh yang pertama kali mencoba merekonsiliasi pemikiran Yunani dan Islam. Di bawah perintah khalifah Abbasiyah Al-Ma’mun dan Al-Mu’tasim, Al-Kindi memimpin proyek besar penerjemahan karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab di Bayt al-Hikmah di Baghdad.
Dalam karyanya al-Ḥīlah li-Dafʿ al-Aḥzān, Al-Kindi menawarkan strategi-strategi kognitif untuk melawan depresi, dengan mengutip ayat-ayat Al-Qur’an sebagai landasan spiritual. Al-Kindi menekankan bahwa kesedihan dan kegelisahan dapat dikelola melalui pemahaman yang benar tentang kehidupan dunia dan akhirat, sebagaimana yang diajarkan dalam Al-Qur’an (Abu Yusuf al-Kindi dan Muhammad ʿAbd al-Hadi, 1950).
Pendekatan kedua diambil oleh para ulama yang lebih berfokus pada wahyu sebagai sumber utama untuk memahami kesehatan mental. Salah satu tokoh yang sangat terkenal dalam pendekatan ini adalah Ibnu Qayyim al-Jawziyyah. Ibnu Qayyim menggunakan istilah-istilah dalam Al-Qur’an untuk merumuskan teori bertingkat tentang kognisi dan perilaku.
Dalam karyanya yang terkenal, Ighāthat al-laḥfān fī Maṣāyid al-Syayṭān Ibnu Qayyim menekankan bahwa penyakit hati seperti kecemasan, kesedihan, depresi, dan kemarahan dapat diobati dengan mengidentifikasi penyebabnya dan menggunakan pengobatan yang tepat, baik secara fisik maupun spiritual. Ini menunjukkan bahwa dalam pandangan Islam, kesehatan mental dan fisik saling terkait, di mana gangguan mental dapat mempengaruhi tubuh dan sebaliknya (Muhammad ibn Abi Bakr Ibn Qayyim, 2011).
Selain itu, Abu Zaid al-Balkhi yang hidup pada abad ke-9 Masehi, memberikan kontribusi besar dalam memahami kesehatan mental. Dalam karyanya yang terkenal, Maṣāliḥ al-Abdān wa-al-Anfus, al-Balkhi menekankan bahwa gangguan mental seperti depresi, kecemasan, dan fobia harus diperlakukan dengan serius, bahkan mungkin lebih serius daripada penyakit fisik. Menurutnya, gangguan psikologis lebih sering dialami oleh manusia dan mempengaruhi kehidupan sehari-hari secara lebih mendalam (Al-Balkhi, 2005).
Pemikiran Al-Balkhi tentang depresi sangat mendahului zamannya dan sangat relevan dengan standar modern, seperti yang dijelaskan dalam DSM-5, manual diagnostik yang digunakan untuk mengidentifikasi gangguan kejiwaan (Raniaa Awad dan Sara Ali, 2015 dan 2016). Al-Balkhi mengidentifikasi penyebab depresi yang bisa berasal dari ketidakseimbangan cairan tubuh (teori humoral dari zaman Yunani) atau dari bisikan setan, yang dikenal dalam ajaran Islam sebagai “waswas.” Dia juga menekankan pentingnya mencari pengobatan, dengan mengutip hadis Nabi Muhammad Saw yang menyatakan bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya (Al-Balkhi, 2005).
Tidak hanya terbatas pada karya-karya individu ulama, sistem rumah sakit yang dibangun di dunia Muslim pada masa itu juga menunjukkan perhatian besar terhadap kesehatan mental. Salah satu ciri khas rumah sakit Islam adalah adanya bangsal khusus yang didedikasikan untuk pasien dengan gangguan mental. Ini adalah langkah maju yang signifikan karena bangsal psikiatri seperti ini baru muncul di Eropa sekitar 500 tahun kemudian (Michael W. Dols, 1992).
Seiring berjalannya waktu, rumah sakit atau dār al-syifāʾ/māristāns, yang dikhususkan untuk perawatan kesehatan mental berkembang pesat di dunia Muslim. Kota-kota seperti Baghdad, Damaskus, dan Kairo menjadi pusat utama rumah sakit yang menawarkan perawatan komprehensif bagi pasien mental. Salah satu hal yang luar biasa dari rumah sakit ini adalah lokasi mereka yang sengaja ditempatkan di tengah kota, agar mudah diakses oleh masyarakat (Michael W. Dols, 1992).
Selain itu, arsitek dari rumah sakit ini mempertimbangkan kualitas udara dan kedekatan dengan sumber air alami untuk menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan. Misalnya, di Rumah Sakit Mansuri di Kairo, kipas besar yang disebut “panka” digunakan untuk sirkulasi udara, sementara lantainya ditutupi dengan cabang-cabang henna, delima, dan mastic sebagai penyegar udara alami (Michael W. Dols, 1992).
Dalam hal pengobatan, pasien dengan gangguan mental di rumah sakit Islam menerima berbagai bentuk perawatan, termasuk penggunaan obat-obatan sederhana dan majemuk, seperti stimulan, sedatif, dan depresan. Salah satu jenis obat yang digunakan pada masa itu adalah mufarriḥ al-nafs, atau “penggembira jiwa,” yang mirip dengan antidepresan modern (Michael W. Dols, 1992).
Selain obat-obatan, para dokter di dār al-māristāns juga menggunakan pendekatan holistik yang meminimalkan efek samping, seperti terapi suara dengan menggunakan bacaan Al-Qur’an, musik, dan suara alam seperti air mengalir atau kicauan burung. Mandi teratur, diet seimbang, terapi bekam, pijat dengan minyak, dan berkebun juga digunakan sebagai bagian dari proses penyembuhan (Michael W. Dols, 1992).
Ketika pasien selesai menjalani perawatan di rumah sakit Islam, mereka tidak hanya keluar begitu saja. Rumah sakit seperti dār al-māristān di Baghdad, misalnya, memberikan dukungan finansial kepada pasien yang telah pulih untuk membantu mereka berintegrasi kembali ke dalam kehidupan sehari-hari (Michael W. Dols, 1992).
Semua pertimbangan ini menunjukkan betapa seriusnya perhatian yang diberikan oleh peradaban Islam terhadap kesehatan mental, dengan memahami manusia sebagai makhluk sosial dan emosional yang kompleks.
Referensi:
Abu Yusuf al-Kindi dan Muhammad ʿAbd al-Hadi, Rasāʾil al-Kindī al-falsafīyah (Cairo: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 1950).
Abu Zaid al-Balkhi, Maṣāliḥ al-Abdān wa al-Anfus, (Kairo: Ma’had al-Makhṭūṭāt al-‘Arabiyyah, 2005), 523-562.
Michael W. Dols, Majnūn: The Madman in the Medieval Islamic World (Oxford: Clarendon Press, 1992).
Muhammad ibn Abi Bakr Ibn Qayyim, Ighāthat al-Laḥfān fī Maṣāyid al-Syayṭān, ed. Muṣṭafá ibn Saʾīd Ītīm, Muḥammad ʿAzīz Shams, and Bakr ibn ʿAbd Allāh Bū Zayd, vol. 1 (Mecca: Dār ‘Ālim al-Fawā’id, 2011), 26.
Osman Bakar, “Science,” dalam History of Islamic Philosophy, ed. Seyyed Hossein Nasr (London: Routledge, 2015), 1656-92.
Rania Awaad dan Sara Ali, “A modern conceptualization of phobia in al-Balkhi’s 9th century treatise: Sustenance of the Body and Soul”, Journal of Anxiety Disorders 37 (2016): 89–93. DOI: 10.1016/j.janxdis.2015.11.003.
Rania Awaad dan Sara Ali, “Obsessional Disorders in al-Balkhi’s 9th century treatise: Sustenance of the Body and Soul”, dalam Journal of Affective Disorders 180 (2015)” 185–189. DOI: 10.1016/j.jad.2015.03.003.