Politik uang (money politics) dalam Pemilu kerap menjadi topik yang kontroversial. Praktik yang melibatkan distribusi uang atau barang kepada pemilih ini bertujuan untuk memengaruhi pilihan mereka demi keuntungan politik. Dalam Islam, fenomena ini setara dengan risywah atau suap, yang hukumannya jelas: haram.
Tidak peduli apa bentuk pemberiannya, apakah berupa uang tunai, barang, atau janji proyek, tindakan ini tetap dikategorikan sebagai suap dan haram dalam ajaran Islam. Suap, meski diberi istilah lain seperti hibah atau sumbangan, tetap dianggap dosa besar, terutama karena berpotensi merusak moral dan mental masyarakat.
Hal ini berdasarkan QS. Al-Baqarah ayat 188, Allah berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ࣖ
“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”
Politik uang adalah bagian dari politik transaksional yang merusak keadilan pemilu. Fenomena ini memicu apatisme di kalangan masyarakat, yang lebih peduli pada imbalan langsung ketimbang kualitas pemimpin yang dipilih.
Dalam perspektif Islam, politik uang termasuk dalam bentuk kezaliman yang merusak kehidupan, sebagaimana dinyatakan dalam ayat QS al-Baqarah ayat 205, yang memperingatkan bahaya perilaku pemimpin zalim yang merusak tatanan sosial.
وَاِذَا تَوَلّٰى سَعٰى فِى الْاَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيْهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ ۗ وَ اللّٰهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ
“Dan apabila dia berpaling (dari engkau), dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi, serta merusak tanam-tanaman dan ternak, sedang Allah tidak menyukai kerusakan.”
Meski politik uang haram, penting untuk membedakan antara suap dan biaya politik sah. Biaya politik atau political cost yang diizinkan oleh undang-undang tetap diperlukan dalam kampanye. Ini meliputi pengeluaran untuk alat peraga kampanye seperti kaos, poster, dan baliho. Pengeluaran ini sah selama tidak melibatkan pemberian langsung kepada pemilih yang bertujuan memengaruhi suara mereka.
Penggunaan dana kampanye untuk upah atau imbalan tim sukses yang melakukan pemasangan alat kampanye, dibolehkan. Begitu pula, boleh masyarakat menyumbangkan bantuan finansial dan sejenisnya kepada tim pemenangan (bukan kepada pemilih) untuk membantu kampanye para calon. Selama tidak ada unsur suap dalam bentuk janji atau pemberian langsung yang ditujukan untuk membeli suara, kegiatan ini tidak tergolong sebagai politik uang yang diharamkan.
Dengan demikian, perbedaan tegas antara suap (politik uang) dan biaya kampanye yang sah harus dipahami oleh masyarakat. Di satu sisi, politik uang adalah praktik yang merusak, sementara di sisi lain, biaya kampanye adalah bagian dari proses demokrasi yang sah selama dijalankan dengan transparansi dan integritas.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, “Hukum Politik Uang (Money Politics)”, Majalah Suara Muhammadiyah Edisi 1-15 Maret 2024.