Rene Descartes dikenal luas dengan ungkapannya “Cogito ergo sum” yang berarti “Aku berpikir, maka aku ada.” Ungkapan ini merangkum pemikiran Descartes bahwa eksistensi manusia ditentukan oleh kesadaran berpikirnya. Menurutnya, keraguan yang mengawali proses berpikir menjadi bukti paling dasar dari keberadaan manusia.
Namun, dalam perspektif Islam, eksistensi manusia tidak semata ditentukan oleh aktivitas berpikir. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Syamsul Anwar, dalam salah satu khutbahnya memberikan pandangan yang menurutnya lebih sesuai dengan konsepsi Islam tentang eksistensi. Ia menegaskan, “Aku bekerja, maka aku ada,” yang menempatkan pekerjaan sebagai penanda utama dari keberadaan dan eksistensi manusia.
Konsep eksistensi dalam Islam bukan hanya soal kesadaran intelektual, tetapi tentang kontribusi nyata melalui kerja dan amal. Hal ini memiliki dasar kuat dalam Al-Qur’an, salah satunya adalah QS. At-Taubah ayat 105, yang berbunyi, “Bekerjalah kamu sekalian, maka Allah akan melihat pekerjaanmu.”
Ayat di atas menegaskan bahwa bekerja bukan sekadar kegiatan fisik, melainkan tindakan yang mendapatkan perhatian langsung dari Allah. Pekerjaan yang dilakukan manusia, baik dalam bentuk profesi, sukarela, maupun karya, menjadi manifestasi dari keberadaan dirinya di hadapan Tuhan dan sesama manusia.
Lebih lanjut, Syamsul Anwar menjelaskan bahwa bekerja bukan hanya jalan untuk memperoleh rezeki halal, tetapi juga menjadi tolok ukur pengakuan sosial atas kontribusi seseorang. Dengan bekerja, seseorang mendapatkan tempat di tengah masyarakat, yang mengakui keberadaannya melalui hasil kerja yang nyata.
“Setiap orang harus menciptakan lapangan pekerjaan atau setidaknya bekerja, karena melalui bekerja, mereka dianggap eksis. Sebaliknya, mereka yang tidak bekerja, baik dalam arti literal maupun figuratif, akan dianggap seolah-olah tidak ada,” jelas Syamsul dalam khutbah Jumat yang disampaikannya pada Jumat (27/01) di Masjid Agung Bangka Selatan.
Namun, konsep bekerja dalam Islam, sebagaimana diuraikan oleh Syamsul, sering kali mengalami penyempitan makna dalam pemahaman umum. Istilah “amal” yang dalam bahasa Arab berarti pekerjaan atau perbuatan, seringkali diartikan secara sempit sebagai sedekah atau infak. Padahal, dalam terminologi Islam, amal mencakup berbagai aktivitas produktif yang dilakukan manusia, baik yang menghasilkan manfaat ekonomi maupun yang bersifat sosial.
Seorang dokter, pengacara, pengemudi online, dosen, hingga guru, semuanya dianggap beramal dalam kapasitas profesinya. Mereka yang bekerja dengan niat yang benar, dalam kerangka etika Islam, dianggap sedang melakukan amal saleh yang diakui oleh Allah.
Selain itu, amal juga mencakup kerja sukarela, di mana seseorang berkontribusi tanpa mengharapkan imbalan materi. Di Muhammadiyah, contoh nyata dapat dilihat pada para pimpinan organisasi dari tingkat ranting hingga pusat, yang bekerja tanpa menerima imbalan langsung. Syamsul Anwar mencontohkan para pimpinan Muhammadiyah ini sebagai pelaku amal yang bekerja demi kemaslahatan umat.
Syamsul juga menekankan bahwa amal tidak terbatas pada pekerjaan dalam bentuk profesi atau pengabdian sosial, tetapi juga mencakup pembuatan karya. Seorang arsitek yang merancang bangunan masjid, seorang seniman yang menciptakan karya seni, atau seorang penulis yang menyusun buku semuanya termasuk dalam kategori amal.
Karya yang dihasilkan seseorang menjadi penanda eksistensinya, bukan hanya di dunia tetapi juga sebagai bekal di akhirat. Islam menilai bahwa hasil kerja yang baik akan terus memberikan manfaat, bahkan setelah penciptanya meninggal dunia, seperti konsep amal jariyah yang terus mengalirkan pahala bagi pelakunya.
Islam menganjurkan umatnya untuk terus bergerak, bekerja, dan berkontribusi. Diam dan stagnan bukanlah sifat yang dianjurkan dalam ajaran agama ini. Setiap umat Islam diharapkan untuk berbuat, baik itu melalui pekerjaan formal, kerelawanan, atau penciptaan karya. Dalam pandangan Islam, manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di bumi, yang berarti bertanggung jawab atas pengelolaan alam semesta, termasuk melalui pekerjaan yang dilakukan.
Namun, seperti yang dijelaskan oleh Syamsul Anwar, bekerja dalam Islam bukan hanya soal aktivitas, tetapi juga soal niat. “Allah akan selalu mengawasi apa yang kita kerjakan, dan karena itu, dalam bekerja baiknya kita selalu berharap akan lindungan Allah agar tidak masuk dalam perkara-perkara yang dilarang dalam agama,” ungkap Guru Besar Hukum Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini.
Pesan ini menegaskan pentingnya integritas dalam bekerja. Islam mengajarkan bahwa setiap pekerjaan yang dilakukan harus berdasarkan etika dan nilai-nilai moral. Tidak cukup hanya bekerja keras, tetapi juga harus bekerja dengan benar. Islam mengingatkan umatnya bahwa Allah adalah pengawas tertinggi yang senantiasa memantau setiap tindakan manusia. Karena itu, setiap pekerjaan yang dilakukan harus diarahkan pada kebaikan, bermanfaat bagi diri sendiri, masyarakat, dan tentunya mendapatkan ridha Allah.
Dalam kesimpulannya, Syamsul Anwar mengingatkan bahwa manusia dinilai bukan hanya dari apa yang dipikirkan, tetapi lebih dari itu, dari apa yang dilakukan. Konsepsi eksistensi dalam Islam jauh melampaui batasan intelektualisme semata. Bekerja, dalam segala bentuknya, merupakan penanda utama eksistensi manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Islam mendorong umatnya untuk terus beramal, tidak hanya demi kehidupan dunia, tetapi juga sebagai bekal di akhirat kelak.