MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Kedaulatan budaya adalah kunci bagi kelangsungan dan kemajuan bangsa. Hal ini disampaikan oleh Hajriyanto Y. Thohari, Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Indonesia untuk Lebanon, dalam Pengajian Bulanan Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang diselenggarakan pada Jumat (18/10).
Istilah daulat dalam bahasa Arab adalah Daulah. Dalam Al-Qur’an, kata ini disebut dalam ayat, “wa tilkal-ayyāmu nudāwiluhā bainan-nās,” yang berarti: “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)” (QS. Ali Imran: 140). “Dengan kata lain, daulah bisa diartikan sebagai ‘giliran,” ujar Hajriyanto.
Lalu, dalam KBBI sendiri, Hajriyanto menjelaskan bahwa kata daulat memiliki arti yang berbeda dari bahasa arab. Dalam KBBI, daulat diartikan “kekuasaan, pemerintahan, dll”. Hajriyanto menyimpulkan bahwa kedaulatan budaya dapat diartikan suatu kekuasaan budaya yang berasal dari dalam rumah (negara) sendiri. Maka dari itu, dengan adanya topik tentang kedaulatan budaya, Hajriyanto mengingatkan kita semua “Sebagai bagian dari bangsa yang besar agar tetap mempertahankan budaya dan tidak boleh kehilangan budaya sendiri atau bahkan mudah ter hegemoni dengan budaya asing,” Tegasnya.
Hajriyanto menjelaskan lebih lanjut terkait konsep hegemoni budaya dengan merujuk pada pernyataan filsuf Italia Antonio Gramsci. Gramsci menggambarkan konsep tersebut sebagai sebuah pengaruh kebudayaan asing yang berdasarkan pada “konsensus” atau bersifat alami sehingga pengaruhnya bisa dibilang tidak terasa dan tidak disadari. Menurutnya, hegemoni budaya ini menjadi sebuah tantangan besar bagi setiap negarra-negara di dunia, termasuk Indonesia.
Pada permasalahan hegemoni budaya ini, Hajriyanto memberikan pemaparan terkait contoh kasus hegemoni budaya di negara-negara Arab serta mengklasifikasikan nya kedalam 2 jenis.
“Saya melihat negara Arab itu terbagi kedalam dua kategori. Yang pertama adalah negara arab tradisional/konservatif seperti negara Arab Teluk yaitu Kuwait, Qatar, UEA, Oman, Bahrain, dan Saudi Arabia dan negara Arab yang progresif seperti Libanon, Mesir, Suriah, Tunisia, Aljazair, dll,”sebutnya.
“Saya melihat bahwa masyarakat yang berasal dari negara Arab konservatif tersebut masih kokoh akan kebudayaan mereka dan dengan bangga mempertunjukannya pada forum dan event Internasional. Bahkan menariknya, negara arab konservatif tersebut justru terbilang lebih maju daripada negara Arab yang progresif. Bahkan Qatar pernah mencapai pendapatan perkapita lebih dari US$100.000,” tambahnya.
Dalam pemaparan terkait permasalahan hegemoni kebudayaan di negara-negara Arab tersebut, Hajriyanto menyimpulkan bahwa Negara yang kokoh dengan kebudayaannya, dapat mempertahankan kebudayaannya, itu justru jauh lebih maju daripada negara arab yang dibilang progresif dan terkontaminasi dengan hegemoni kebudayaan barat (westernisasi) seperti contohnya Suriah dan Mesir yang saat ini pendapatan per kapita nya masih dibawah US$ 2.000 yang terbilang sangat jauh dari negara arab konservatif tersebut.
“Maka dari itu, permasalahan hegemoni kebudayaan barat ini sangat luar biasa dan perlu diperhatikan,” tegasnya.
Dengan berkaca pada permasalahan hegemoni kebudayaan di negara Arab tersebut, maka kaitannya dengan sumpah pemuda sendiri adalah bagaimana kita sebagai bangsa yang besar dapat saling bersinergi dalam bekerja dan memperkokoh kebudayaan kita sendiri. Sebagai satu contoh adalah tentang bahasa yang merupakan kekuatan suatu bangsa.
Terakhir Hajriyanto berharap agar Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, dapat terus berperan dalam memperkuat kedaulatan budaya bangsa.
“Dengan banyaknya lembaga pendidikan Muhammadiyah terutama perguruan tinggi, Muhammadiyah memiliki kekuatan besar untuk berkontribusi dalam membangun dan mempertahankan budaya milik bangsa sendiri yaitu bangsa Indonesia,” pungkasnya. (bhisma)