MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Istihsan menempati posisi penting dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Syamsul Anwar, menjelaskan bahwa secara bahasa, istihsan berarti “menilai sesuatu itu baik”. Secara lebih luas, istihsan sering dipahami sebagai cara untuk memprioritaskan kemaslahatan tertentu dengan menyisihkan ketentuan hukum umum.
Sejalan dengan pemahaman ini, ulama Maliki seperti yang dikutip oleh asy-Syatibi, mendefinisikan istihsan sebagai memilih kemaslahatan spesifik yang lebih besar dengan menyisihkan dalil umum yang mungkin tidak sejalan. Ibnu al-‘Arabi menambahkan bahwa istihsan adalah meninggalkan suatu dalil umum karena adanya dispensasi atau kondisi tertentu yang lebih mendesak.
Contoh konkret istihsan yang relevan dalam kehidupan sehari-hari adalah bolehnya membuka aurat untuk keperluan medis. Secara umum, Islam mewajibkan menutup aurat, tetapi dalam kasus medis, kaidah ini bisa disisihkan demi kemaslahatan yang lebih besar, yakni kesehatan pasien.
Syamsul Anwar juga menyoroti contoh lain yang lebih umum di kalangan umat Islam, yakni pengecualian kewajiban puasa bagi musafir di bulan Ramadan. Meskipun ada dalil yang memperkuat dispensasi ini, contoh tersebut menggambarkan prinsip istihsan sebagai pengecualian yang mengedepankan maslahat.
Namun, posisi istihsan dalam kajian hukum Islam terus menjadi topik diskusi. Ada dua pandangan utama terkait istihsan. Satu pandangan menyebut istihsan sebagai metode penalaran dalam hukum Islam, karena penggunaannya melibatkan ijtihad dan pertimbangan rasional. Di sisi lain, beberapa ulama menempatkan istihsan sebagai sumber hukum, mengingat peranannya yang menghasilkan keputusan hukum baru.
Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah sendiri cenderung memposisikan istihsan sebagai sumber hukum Islam. Hal ini didasarkan pada doktrin usul fikih yang menyatakan bahwa sesuatu yang dipandang baik oleh masyarakat Muslim dapat dijadikan sumber ajaran agama.
“Nilai baik dari sesuatu dalam pandangan masyarakat, menurut doktrin usul fikih, dapat menjadi sumber ajaran agama,” ungkap Syamsul Anwar, Guru Besar Hukum Islam dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, dalam salah satu pengajian Tarjih Muhammadiyah pada Rabu (16/10).
Sebagai penguat argumennya, Syamsul Anwar juga mengutip salah satu hadis mauquf: “Dari Abdullah ia berkata: apa yang dipandang baik oleh orang-orang Muslim adalah baik di sisi Allah, dan apa yang dipandang buruk oleh orang-orang Muslim adalah buruk di sisi Allah.” (HR. Ahmad dan Thabrani). Hadis ini sering dijadikan landasan bahwa kemaslahatan atau nilai kebaikan yang diterima secara umum oleh umat Muslim, bisa menjadi dasar hukum dalam agama.
Dengan demikian, Majelis Tarjih Muhammadiyah memberikan pandangan bahwa istihsan, yang sering menjadi perdebatan apakah sebagai sumber atau metode hukum, dalam konteks Muhammadiyah jelas diposisikan sebagai salah satu sumber hukum yang sah. Pandangan ini mengakui pentingnya maslahat dan kesejahteraan umat dalam menilai kebaikan dalam hukum Islam.