MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Pada masa sekarang di dunia yang tanpa batas, identitas menurut Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Zuly Qodir masih relevan dan dibutuhkan oleh kaum muda.
Dalam Pengajian Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah pada Jum’at (18/10) Zuly menjelaskan identitas budaya dapat dinampakan melalui simbol pakaian atau busana, dan juga bahasa.
Lebih khusus dalam urusan bahasa, dia memandang saat ini kaum muda seakan enggan menggunakan Bahasa Indonesia. Mereka beralasan jika menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar dianggap tidak kosmopolitan.
“Buat saya penggunaan Bahasa Indonesia itu adalah identitas kebudayaan Indonesia,” katanya.
Selain itu, yang menjadi identitas budaya Indonesia itu adalah makanan atau khazanah kuliner. Dalam sebuah hidangan menu makanan, katanya, tersimpan makna-makna simbolis yang ditetapkan.
Zuly menyebutkan jika budaya sebagai identitas, maka di dalamnya penuh dengan kompleksitas makna. Merujuk Clifford Geertz, Zuly menyebut kebudayaan sebagai simbol yang penuh dengan makna.
“Ada etika di dalamnya, ada hukum di dalamnya, ada kebiasaan dan lain sebagainya,” ungkapnya.
Sementara itu, antara relasi kebudayaan dengan agama, Zuly merujuk Bung Hatta yang menyebut, di dalam agama itu terdapat unsur kebudayaan yang oleh karena itu orang beragama seharusnya gembira – tidak boleh sedih, sebab orang yang beragama adalah orang yang berbudaya.
Dalam usaha memantapkan kedaulatan budaya Indonesia, katanya, tidak bisa budaya dilakukan secara individual, melainkan harus secara kolektif. Sebab jika identitas budaya hanya diaktualisasi individual, dikhawatirkan budaya tersebut tidak awet atau bahkan sampai punah.
Indonesia sebagai negara dengan tingkat kemajemukan yang tinggi dibutuhkan suatu identitas budaya untuk mengikat perbedaan. Identitas budaya tersebut menurutnya adalah Bahasa Indonesia.
Selain bahasa, juga ada pakaian yang menurutnya dapat dibangun di atas keragaman budaya yaitu batik dan kopiah. Kedua busana tersebut telah konsensus, sebab di setiap daerah memiliki pola atau corak masing-masing yang itu menjadi ciri khas dan daya pikat sebuah kain batik.
“Kopiah ini tidak terbatas sebagai budaya muslim saja, tapi sudah menjadi budaya nasional,” katanya.
Berbagai keragaman tersebut, jika ditarik pada pemaknaan dari Sumpah Pemuda, keragaman tetap diakui dengan berbasis pada rasa kemanusiaan. Kemudian disempurnakan dalam Pancasila yang di dalamnya terdapat spirit ketuhanan, kemanusiaan, permusyawaratan, dan keadilan.