Pemilu tidak dapat terlepas dari berbagai tantangan, salah satunya adalah praktik politik uang. Di Indonesia, fenomena politik uang kerap kali muncul dalam setiap siklus pemilu. Namun, apakah politik uang dapat dibenarkan, terlebih lagi jika tujuannya adalah untuk memenangkan calon pemimpin yang dinilai baik?
Secara sederhana, politik uang merujuk pada distribusi uang atau barang dari kandidat kepada pemilih untuk memengaruhi keputusan mereka. Bentuknya pun beragam, mulai dari uang tunai, sembako, hingga fasilitas umum yang dijanjikan seperti pembangunan infrastruktur di daerah tertentu.
Dalam istilah Islam, fenomena ini dikenal dengan risywah, yang secara umum diterjemahkan sebagai suap atau sogokan. Para ulama mengklasifikasikan risywah sebagai pemberian yang bertujuan mempengaruhi keputusan pihak lain, baik untuk merealisasikan kebatilan maupun membatalkan kebenaran.
Muncul argumen bahwa penggunaan politik uang untuk memenangkan calon yang dianggap lebih baik dapat diterima, terutama dalam konteks mencegah calon yang tidak kompeten. Namun, pandangan ini harus dilihat secara lebih kritis. Indonesia memiliki dinamika politik yang sangat kompleks, dan penerapan konsep ini rawan disalahgunakan.
Tidak ada jaminan bahwa kandidat yang disebut “baik” selalu benar, dan proses seleksi pemimpin harus didasarkan pada kriteria obyektif, bukan kepentingan subjektif dari pihak-pihak tertentu. Kejujuran adalah hal utama. Umar bin Khattab pernah mengatakan, “Aku direndahkan dengan kejujuran lebih aku sukai daripada aku diangkat dengan kedustaan.”
Dalam perspektif syariat Islam, praktik politik uang atau risywah adalah haram dan tergolong dosa besar. Larangan ini didasarkan pada beberapa dalil, salah satunya adalah firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 188:
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ࣖ
“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”
Hadis Nabi Muhammad SAW juga mempertegas larangan tersebut. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantara keduanya. Hukuman laknat ini menandakan bahwa suap tidak hanya diharamkan, tetapi juga termasuk perbuatan tercela yang membawa konsekuensi serius bagi pelakunya.
Selain itu, politik uang menimbulkan berbagai kerusakan, baik di tingkat sosial maupun moral. Masyarakat menjadi apatis, hanya peduli pada imbalan materi tanpa memperhatikan kualitas kepemimpinan calon yang mereka dukung. Kerusakan ini mencerminkan kondisi yang digambarkan dalam Al-Qur’an sebagai perbuatan yang merusak bumi dan kehidupan.
Dalam konteks ini, Al-Baidhawi dalam tafsirnya menegaskan bahwa perilaku pemimpin yang munafik dan zalim akan menimbulkan kerusakan yang tidak disukai Allah SWT. Politik uang adalah salah satu bentuk kezaliman tersebut.
Namun, di sisi lain, penting untuk membedakan antara politik uang yang haram dan biaya politik yang wajar. Biaya kampanye seperti pembuatan alat peraga, pengadaan kaos, atau baliho tidak termasuk dalam kategori risywah selama sesuai dengan regulasi yang berlaku. Pengeluaran ini merupakan bagian dari proses demokrasi, asalkan tidak melibatkan iming-iming langsung kepada pemilih berupa uang atau barang pribadi. Masyarakat pun dibolehkan memberikan dukungan finansial secara sukarela kepada kandidat yang mereka percaya, tanpa adanya tekanan atau janji imbalan.
Kesimpulannya, penggunaan politik uang dalam pemilu, meskipun bertujuan untuk memenangkan calon yang dianggap baik, tetaplah haram. Islam menekankan kejujuran dan integritas dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam memilih pemimpin.
Sebagai umat yang berpegang pada nilai-nilai tersebut, kita harus menghindari segala bentuk politik uang dan mendukung pemilihan yang adil serta beretika, sehingga pemimpin yang terpilih benar-benar layak dan dapat membawa kebaikan bagi masyarakat.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, “Hukum Politik Uang (Money Politics)”, Majalah Suara Muhammadiyah Edisi 1-15 Maret 2024.