MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Dalam QS. Al-A’raf ayat 34, Allah SWT berfirman: “Setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Jika ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan sesaat pun dan tidak dapat (pula) meminta percepatan.”
Dalam acara Halaqah Tafsir At-Tanwir pada Jumat (11/10) di Aula Majsid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan, Cecep Taufiqurrahman menerangkan bahwa ayat ini menegaskan setiap manusia memiliki batas waktu kehidupan yang telah ditentukan oleh Allah. Ajal tersebut tidak bisa dimajukan atau ditunda, terlepas dari apapun yang terjadi dalam kehidupan manusia.
Dalam perspektif Ahlusunnah Wal Jama’ah, terang Cecep, kematian seseorang adalah kepastian yang sudah ditetapkan oleh Allah. Bahkan jika seseorang mati karena terbunuh, pada hakikatnya ia mati karena memang ajalnya telah tiba. Pandangan ini berasal dari Imam al-Qurtubi yang menegaskan bahwa seseorang yang meninggal karena dibunuh tetap dianggap meninggal pada waktunya, bukan semata karena tindakan pembunuhan itu.
Imam al-Qurtubi mengutip pandangan mayoritas kaum Mu’tazilah yang menyatakan bahwa seseorang yang terbunuh meninggal bukan karena ajalnya, melainkan karena faktor eksternal, yaitu dipukul atau diserang. Menurut mereka, jika tidak ada serangan, orang tersebut akan tetap hidup. Al-Qurtubi membantah pandangan ini dengan menyatakan bahwa kematian orang yang terbunuh itu memang sudah ditakdirkan Allah, hanya saja kebetulan ajalnya bertepatan dengan tindakan pembunuhan.
“Imam Al-Qurtubi menegaskan bahwa ajal adalah sesuatu yang pasti, sedangkan tindakan manusia hanyalah faktor yang kebetulan terjadi bersamaan dengan waktu kematian yang sudah ditetapkan,” ucap Wakil Ketua Lembaga Pengembangan Pesantren Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini.
Menanggapi argumen kaum Mu’tazilah yang mempertanyakan mengapa si pembunuh tetap dihukum qishash jika kematian korban adalah kehendak Allah, Al-Qurtubi menjawab bahwa qishash dilakukan bukan karena kematian itu sendiri, tetapi karena tindakan kejahatan yang dilakukan oleh pembunuh. Pembunuhan tetap merupakan kejahatan yang tidak boleh dilakukan oleh siapa pun, dan tindakan itu harus dihukum untuk mencegah kerusakan dan permusuhan di masyarakat.
Dalam pandangan ini, ucap Cecep, keyakinan tentang takdir kematian tidak menafikan tanggung jawab moral manusia atas tindakannya. Ahlusunnah Wal Jama’ah memposisikan takdir dan perbuatan manusia dalam harmoni. Allah telah menetapkan ajal setiap manusia, namun manusia tetap memiliki kehendak bebas dalam berbuat.
“Pandangan ini menghindari sikap fatalistik seperti dalam ajaran Jabariyah, yang sepenuhnya mengabaikan peran kehendak manusia, dan juga tidak sejalan dengan pandangan Mu’tazilah yang menekankan peran manusia secara mutlak,” terang Cecep.
Hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Darda Ra juga memperkuat keseimbangan ini. Ketika para sahabat berbincang dengan Rasulullah SAW tentang bagaimana seseorang bisa memperpanjang usia melalui silaturahmi, Rasulullah menjelaskan bahwa usia tidak benar-benar diperpanjang secara fisik. Usia yang dipanjangkan merujuk pada keberkahan dalam keturunan dan doa anak-anak yang sholeh untuk orangtuanya yang telah meninggal. Doa tersebut sampai kepada orang tua di alam kubur, yang seakan-akan “memanjangkan” usia mereka.
Makna “memperpanjang usia” di sini adalah bahwa seseorang dapat terus mendapatkan pahala dan keberkahan meski telah meninggal, berkat perbuatan baik yang dilakukan semasa hidup, seperti menjaga silaturahmi atau mendidik keturunan yang sholeh. Ini adalah bentuk pemanjangan usia yang hakiki, sebagaimana dipahami dalam ajaran Islam.
Dengan demikian, tafsir QS. Al-A’raf ayat 34 memberikan pelajaran tentang ketentuan ajal yang pasti, tetapi tetap memberi ruang bagi manusia untuk berbuat baik selama hidupnya.