MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Dalam al-An’am ayat 19‒21, Al-Qur’an menantang audiensnya dengan pertanyaan, “Siapakah yang lebih kuat kesaksiannya?” Kalimat ini menjadi landasan dalam mempertanyakan berbagai model keimanan yang berkembang pada masa itu dan di masa sekarang.
Dalam Halaqah Tafsir At-Tanwir Muhammadiyah pada Jumat (20/09), Piet Hizbullah Khaidir mengaitkan tafsir ini dengan pembagian keimanan yang diajukan oleh Al-Nawawi yang membagi iman menjadi tiga tingkatan: pertama, keimanan yang tumbuh dari pengetahuan ilmiah (‘ilm al-yaqin), kedua, keimanan yang semakin kuat melalui pengalaman amaliah (‘ayn al-yaqin), dan terakhir, keimanan tertinggi yang hanya tertuju kepada Allah dengan perasaan menyelami kebenaran-Nya secara langsung (haqq al-yaqin).
Dalam konteks ini, kata Piet, Al-Qur’an yang diterima langsung oleh Nabi Muhammad Saw merupakan pengetahuan tertinggi. Dengan demikian, persaksian Nabi Muhammad atas pewahyuan tersebut bukan hanya sebuah informasi, melainkan pengalaman spiritual yang diresapi dan disaksikan langsung melalui hati dan akalnya. Ini adalah bentuk keimanan tertinggi, di mana seorang hamba benar-benar merasakan kehadiran-Nya dalam setiap aspek kehidupannya.
Mengutip Abu Bakar Sirajuddin, Piet menggambarkan bagaimana orang-orang memperoleh pengetahuan tentang kebenaran melalui tiga cara: melalui kabar, melalui contoh yang diperlihatkan, dan melalui pengalaman langsung. Hanya dengan mengalami langsung, seseorang dapat mencapai keimanan yang sempurna dan mendalam.
Urgensi persaksian dalam pewahyuan Al-Qur’an terletak pada tuntutan integrasi antara pengakuan lahiriah dan batiniah. Al-Raghib al-Ishfahani menyebutkan bahwa persaksian (syahadah) tidak sekadar diucapkan, tetapi juga harus disertai dengan pengalaman langsung, baik secara fisik maupun spiritual. Dalam konteks pewahyuan, Nabi Muhammad Saw tidak hanya mengucapkan kebenaran wahyu, tetapi juga menyaksikan, merasakan, dan mengalami langsung kehadiran Allah dalam setiap wahyu yang diterimanya.
Dalam kehidupan sehari-hari, hal ini mengajarkan kepada umat Islam bahwa keimanan bukan hanya sebuah keyakinan yang pasif. Keimanan harus diwujudkan dalam tindakan nyata, yang merefleksikan komitmen penuh kepada Allah dan ajaran-Nya. Persaksian dalam konteks ini adalah bentuk integrasi antara indera lahiriah, rasionalitas, dan spiritualitas yang saling berkelindan, membentuk sebuah kehidupan yang seimbang dan penuh keberkahan.
Berbeda dengan nazhar, ru’yah, dan bashar yang hanya menyentuh satu aspek dari penglihatan, syahadah atau persaksian melibatkan keseluruhan diri seorang Muslim, baik secara intelektual maupun spiritual. Oleh karena itu, komitmen persaksian ini tidak bisa bersifat parsial, tetapi harus komprehensif dan menyeluruh. Jika persaksian dilakukan hanya dengan satu aspek saja, tanpa melibatkan seluruh diri, maka keimanan tersebut menjadi tidak sempurna dan rentan terhadap manipulasi.
Ironisnya, sebagaimana disampaikan Piet, banyak dari kaum musyrikin pada zaman Nabi yang memiliki kesempatan untuk memberikan persaksian yang integratif, tetapi mereka justru menolak kebenaran wahyu. Mereka mengetahui kebenaran wahyu yang dibawa oleh Muhammad, tetapi menolak untuk mengakui dan menerimanya. Hal ini merugikan mereka secara spiritual, karena menolak kebenaran yang telah disaksikan secara nyata.