MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (18/09), Ghoffar Ismail, anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, menyampaikan materi tentang Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Salah satu poin yang ia sampaikan ialah tentang Wawasan Wasathiyah.
Ghoffar menyampaikan bahwa sikap wasathiyah adalah landasan penting dalam beragama. Prinsip ini memiliki dasar kuat dalam Al-Qur’an, khususnya pada QS Al-Baqarah ayat 143 yang mencantumkan istilah “ummatan wasaṭan”, yang bermakna umat yang berada di tengah.
Ghoffar mengutip pendapat al-Sa’dī dalam tafsirnya yang menjelaskan bahwa “ummatan wasaṭan” adalah umat Islam yang berada di antara dua agama, Yahudi dan Nasrani. Islam mengajarkan umatnya untuk menjalankan norma kehidupan yang seimbang. Karenanya, pemikiran-pemikiran ekstrem sepanjang sejarah peradaban Islam selalu marginal dalam lingkungan umat Islam.
Hal di atas sebagaimana dipraktikkan oleh Nabi Muhammad Saw dalam ajaran agama hanifiyah samḥah. Istilah ini merujuk pada agama yang lurus dan penuh kelapangan. Hadis Rasulullah Saw menyebutkan, “Aku tidak diutus untuk mendakwahkan agama Yahudi maupun Nasrani, tetapi aku diutus untuk mendakwahkan agama hanifiyah samḥah” (HR Ahmad).
Ghoffar juga menegaskan bahwa wasathiyah tidak hanya dalam konteks beragama, tetapi juga dalam seluruh aspek kehidupan. Allah melarang perilaku berlebihan atau melampaui batas, baik dalam beragama (QS al-Nisa: 171), bermuamalah (QS al-A’raf: 31), hingga dalam perang (QS al-Baqarah: 190). Sikap moderat inilah yang selalu menjadi ciri khas umat Islam dan menjadikan pemikiran ekstrem selalu tertolak dalam sejarah peradaban Islam.
Risalah Islam Berkemajuan yang menjadi salah satu keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Surakarta pada tahun 2022 juga menegaskan sikap wasathiyah. Dalam dokumen tersebut, wasathiyah diwujudkan dalam sikap sosial yang mencakup beberapa hal, di antaranya tegas dalam pendirian, luas dalam wawasan, dan luwes dalam sikap. Selain itu, menghargai perbedaan pandangan, menolak pengkafiran sesama muslim, serta memahami realitas dan prioritas juga menjadi bagian dari prinsip ini.
Dalam konteks ijtihad, prinsip wasathiyah diterapkan dengan menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber utama hukum Islam, dengan pendekatan yang holistik. Proses ijtihad juga memperhatikan maqāṣid as-syarī’ah atau tujuan utama syariat dalam menyikapi persoalan-persoalan kontemporer yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam nash. Dengan demikian, Islam sebagai agama yang moderat dan seimbang mampu menjawab tantangan zaman tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasarnya.