Tawakkal merupakan konsep penting dalam kehidupan umat Islam. Kata ini bermakna menyerah diri kepada Allah dengan penuh kepercayaan, sambil tetap berpegang teguh pada usaha. Secara syariat, tawakkal mencakup dua dimensi utama yang saling melengkapi.
Pertama, tawakkal dalam konteks usaha dan sebab. Ini berarti seseorang harus menjalankan usaha yang diperlukan dalam kehidupannya sambil tetap meyakini bahwa hasil akhirnya berada di tangan Allah. Contohnya, dalam mencari rezeki, seseorang diwajibkan untuk bekerja keras melalui cara-cara yang halal.
Hal di atas sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW, “Berbuatlah semaumu dan akan dimudahkan terhadap yang telah diciptakan.” (HR. Ath-Thabarani dari Ibnu Abbas).
Dimensi kedua dari tawakkal adalah penyerahan diri kepada Allah dalam hal-hal yang berada di luar jangkauan manusia. Setelah seseorang melakukan segala upaya yang diperlukan dengan cara yang benar, ia harus menyerahkan hasilnya kepada Allah. Dalam hal ini, manusia tidak memiliki kendali penuh atas hasil akhir, sehingga kepercayaan penuh kepada Allah adalah kunci.
Prinsip di atas tertuang dalam berbagai ayat Al-Quran, salah satunya dalam surat Al-Ahzab ayat 48, “Dan bertawakallah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pelindung.”
Ayat-ayat lain juga mempertegas pentingnya tawakkal, seperti dalam surat Al-Maidah ayat 23 dan surat Ali Imran ayat 159. Kedua ayat ini menekankan bahwa tawakkal bukanlah alasan untuk berhenti berusaha, melainkan pengingat bahwa setelah segala upaya dilakukan, seseorang harus percaya bahwa Allah yang mengatur segala sesuatu.
Kesimpulannya, tawakkal adalah sikap penyerahan diri kepada Allah yang disertai dengan usaha dan doa. Ini bukan hanya konsep spiritual, melainkan juga panduan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Dengan tawakkal, seseorang tidak hanya berusaha dengan sungguh-sungguh, tetapi juga menerima apapun hasilnya dengan lapang dada, karena yakin bahwa segala yang terjadi adalah kehendak terbaik dari Allah.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama IV, cet. II (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2003), 29-30.