Nabi Muhammad Saw dikenal dengan akhlaknya yang mulia. Sebagaimana digambarkan oleh istrinya, ‘Aisyah, yang mengatakan bahwa akhlaknya adalah Al-Qur’an. Beliau tidak hanya menyampaikan ajaran, tetapi juga mempraktikkan dengan penuh kesungguhan, terutama sifat kasih sayang.
Dalam berbagai kesempatan, Nabi Saw menegaskan pentingnya sifat ini dengan bersabda, “Orang-orang yang penuh kasih sayang akan dikasihi oleh Yang Maha Pengasih. Kasihilah makhluk di bumi, niscaya yang di langit akan mengasihi kalian.” (HR. Tirmidzi). Hal ini menandakan bahwa ajaran kasih sayang yang beliau bawa bukan sekadar kata-kata, melainkan sesuatu yang beliau anggap suci dan dijalani lebih baik daripada siapapun.
Ketika melaksanakan salat, Nabi Saw tetap memikirkan penderitaan orang lain. Dalam sebuah hadis, beliau mengatakan, “Terkadang aku berdiri untuk salat, lalu mendengar tangisan anak kecil, maka aku meringankan salatku karena tidak ingin memberatkan ibunya.” (HR. Bukhari).
Nabi Saw juga pernah memberi nasihat bahwa ketika seseorang memimpin salat, hendaknya ia memperpendek bacaan karena di antara jamaah ada yang lemah, sakit, atau tua (HR. Bukhari). Sikap ini menunjukkan betapa besar perhatian Nabi Saw terhadap kesejahteraan orang lain, bahkan saat melaksanakan ibadah pribadi.
Kasih sayang Nabi Saw tidak hanya terbatas pada orang dewasa. Dalam banyak hadis, diceritakan bagaimana beliau memperlakukan anak-anak dengan penuh kasih. Dalam satu kisah, seorang sahabat bernama al-Aqra‘ ibn Habis merasa heran ketika melihat Nabi Saw mencium cucunya.
Sahabat itu berkata, “Aku punya sepuluh anak, tetapi aku belum pernah mencium satu pun dari mereka.” Nabi Saw menjawab, “Apa yang bisa aku lakukan jika Allah telah mencabut kasih sayang dari hatimu?” (HR. Bukhari). Ungkapan ini menunjukkan betapa pentingnya ekspresi kasih sayang dalam mendidik dan membesarkan anak-anak, sesuatu yang sering diabaikan oleh sebagian orang.
Tidak hanya kepada manusia, Nabi Saw juga menunjukkan belas kasihnya kepada hewan. Suatu ketika, beliau melihat seekor burung yang kehilangan anak-anaknya karena diambil oleh para sahabat. Nabi Saw langsung bersabda, “Siapa yang membuat burung ini bersedih karena anak-anaknya? Kembalikan anak-anaknya kepadanya!” (HR. Abu Dawud). Kisah ini menunjukkan betapa besar rasa empati beliau, bahkan terhadap hewan.
Selain itu, Nabi Saw juga mengajarkan bahwa menyakiti hewan tanpa alasan yang benar adalah tindakan yang terlarang. Beliau memperingatkan tentang seorang perempuan yang akan masuk neraka karena menyiksa kucing dengan tidak memberinya makan (HR. Bukhari). Dalam ajarannya, semua makhluk hidup memiliki hak atas kasih sayang dan perhatian, bahkan dalam urusan kecil sekalipun, seperti memperlakukan hewan peliharaan dengan baik.
Namun, di atas segalanya, Nabi Saw paling berbelas kasih dalam hal keselamatan umatnya. Beliau sering menangis dalam doa malamnya, memohon kepada Allah agar umatnya dijauhkan dari siksaan yang pernah menimpa umat-umat terdahulu. Keprihatinan beliau terhadap hidayah umat manusia begitu dalam sehingga Al-Qur’an mencatat kesedihannya yang mendalam jika ada orang yang menolak untuk menerima Islam (QS. Al-Kahf: 6). Allah bahkan mengirim malaikat Jibril untuk menenangkan Nabi Saw dengan menyampaikan bahwa Allah akan memberikan kebahagiaan kepada beliau dalam hal umatnya (HR. Muslim).
Dengan demikian, kasih sayang Nabi Saw bukan hanya terlihat dalam interaksinya dengan manusia dan hewan, tetapi juga dalam doanya yang penuh cinta kepada seluruh umatnya. Kasih sayang ini menjadi cerminan dari misi beliau sebagai rahmat bagi seluruh alam, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Anbiya ayat 107.
Referensi:
Abū Dāwūd, Sulaymān ibn al-Ash‘ath al-Sijistānī. Sunan Abī Dāwūd. Sidon: al-Maktabah al-‘Aṣrīyah, 1980.
al-Bukhārī, Muḥammad ibn Ismā‘īl. Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Edited by Zuhayr ibn Nāṣir. Beirut: Dār Ṭawq al-Najāh, 2002.
al-Tirmidhī, Muḥammad ibn ‘Īsá. Sunan al-Tirmidhī. Edited by Bashshār ‘Awwād Ma‘rūf. Beirut: Dār al-Gharb al-Islāmī, 1998.
Muslim ibn al-Ḥajjāj al-Qushayrī. Ṣaḥīḥ Muslim. Edited by Muhạmmad Fu’ād ‘Abdul-Bāqī. Beirut: Dār Iḥyā’ al-Kutub al-‘Arabīyah, 1955.