Nabi Muhammad Saw dikenal sebagai sosok yang jujur, bahkan sebelum diangkat sebagai Rasul. Julukan al-Amin (Yang Dipercaya) disematkan oleh masyarakat Mekkah karena kejujuran dan integritas yang beliau tunjukkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sangat jarang terjadi pada tokoh-tokoh sejarah lainnya, terutama yang mendapatkan pengakuan luas di kalangan sahabat maupun lawan.
Bahkan ketika masyarakat Mekkah menentang ajarannya, mereka tetap mempercayakan barang-barang berharga kepada Nabi Saw. Kisah ini begitu mencolok ketika beliau berhijrah ke Madinah, di mana Nabi Saw menugaskan Ali untuk tetap tinggal di Mekkah guna mengembalikan semua titipan tersebut kepada pemiliknya. Tindakan ini menunjukkan bagaimana kejujuran Nabi Muhammad Saw menjadi bagian integral dari kehidupan pribadinya yang bahkan musuh-musuhnya akui.
Kejujuran Nabi Saw diakui oleh tokoh-tokoh sejarah di luar Islam. Salah satu di antaranya adalah Thomas Carlyle, seorang filsuf dan sejarawan asal Skotlandia, yang meskipun memiliki pandangan kritis terhadap Islam, tetap memuji kejujuran Nabi.
Carlyle menyatakan bahwa teori Nabi Muhammad Saw sebagai seorang penipu adalah hal yang sulit dipercaya. Ia menyoroti bahwa selama hidupnya, Nabi Muhammad Saw tidak menunjukkan ambisi untuk kekuasaan atau ketenaran, melainkan hidup dengan ketulusan dan kejujuran hingga akhirnya diutus sebagai Rasul pada usia 40 tahun.
Bukti lain dari kejujuran Nabi Saw datang dari interaksi beliau dengan Heraclius, kaisar Bizantium. Ketika Heraclius mendengar klaim kenabian Nabi Muhammad Saw, ia segera menyelidikinya dengan cermat. Dalam dialognya dengan Abu Sufyan, yang pada saat itu merupakan salah satu musuh utama Nabi, Heraclius bertanya apakah Muhammad Saw pernah berbohong.
Abu Sufyan dengan jujur mengakui bahwa Nabi tidak pernah berbohong, baik sebelum maupun setelah mengaku sebagai Rasul. Hal ini membuat Heraclius yakin bahwa seseorang yang jujur dalam kehidupan sehari-harinya tidak mungkin berbohong tentang hal sebesar kenabian.
Di sepanjang sejarah, banyak tokoh yang mengaku sebagai nabi atau pemimpin spiritual, namun kebanyakan dari mereka terbukti sebagai penipu atau oportunis yang memanfaatkan keadaan untuk keuntungan pribadi. Namun, karakter Nabi Muhammad Saw yang jujur dan tepercaya membedakan beliau dari para pengklaim palsu tersebut. Hidupnya terdokumentasi dengan rapi, baik di ruang publik maupun pribadi, dan setiap tindakannya menunjukkan konsistensi dalam memegang prinsip-prinsip kejujuran.
Satu contoh luar biasa dari integritas Nabi Saw terjadi ketika putranya, Ibrahim, meninggal dunia bertepatan dengan terjadinya gerhana matahari. Banyak orang mengaitkan peristiwa ini dengan kematian Ibrahim, seolah-olah alam semesta turut berduka atas kepergian putra Nabi.
Namun, Nabi Saw langsung menolak pandangan ini dan menjelaskan bahwa gerhana tidak ada hubungannya dengan kematian atau kelahiran seseorang, melainkan hanyalah fenomena alam yang ditetapkan oleh Allah. Pernyataan ini menegaskan bahwa Nabi Saw, meskipun dalam situasi yang memungkinkan dirinya untuk dimuliakan lebih dari seharusnya, tetap menjaga kejujuran dan integritasnya.
Kejujuran Nabi Saw juga tercermin dalam sikapnya menghadapi musuh-musuhnya. Salah satu contohnya adalah saat Perang Badar, ketika Hudzayfah bin al-Yaman dan ayahnya dibebaskan oleh Quraisy dengan syarat tidak ikut dalam peperangan. Meskipun pasukan Muslim sedang dalam posisi genting menghadapi musuh yang jauh lebih besar, Nabi Saw menegaskan bahwa janji tersebut harus ditepati dan meminta Hudzayfah untuk tidak ikut berperang. Keputusan ini menunjukkan bahwa Nabi Saw tidak pernah mengorbankan prinsip kejujurannya, bahkan dalam kondisi yang paling sulit sekalipun.
Kejujuran dan integritas yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad Saw sepanjang hidupnya menjadi bukti kuat bahwa beliau adalah sosok yang diutus oleh Allah untuk membawa kebenaran. Tidak hanya diakui oleh para pengikutnya, tetapi juga oleh para sejarawan dan tokoh dari berbagai latar belakang. Kejujuran yang konsisten ini menjadikan Nabi Muhammad Saw sebagai teladan yang tak tertandingi dalam sejarah manusia.
Referensi:
Thomas Carlyle, David R. Sorensen (ed.), and Brent E. Kinser (ed.), On Heroes, Hero-Worship, and the Heroic in History (New Haven: Yale University Press, 2013), 59.
Mohammad Elshinawy, The Final Prophet Proofs for the Prophethood of Muhammad, (Irving: Yaqeen Institute for Islamic Research, 2022), 30-34.