Ketika Nabi Muhammad Saw pertama kali mendakwahkan Islam secara terbuka di Makkah, para pengikut awalnya segera merasakan konsekuensi yang sangat berat. Mereka yang memilih untuk memeluk Islam harus bersiap menghadapi penyiksaan fisik, pengucilan sosial, dan ancaman kematian. Sejarah mencatat bagaimana banyak dari mereka dianiaya dengan cara-cara yang kejam dan tidak berperikemanusiaan.
Beberapa sahabat Nabi, seperti Khabbab ibn al-Aratt, menjadi saksi hidup atas kekejaman yang terjadi. Khabbāb disiksa dengan cara dilempar ke bara api hingga ia bisa mencium bau dagingnya sendiri yang terbakar (Abu Nu’aym, 1974, I: 143). Tindakan brutal semacam ini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari bagi mereka yang berani mendeklarasikan iman kepada Allah dan Nabi Muhammad Saw.
Di bawah terik matahari gurun yang menyengat, kaum Quraisy membawa kaum Muslimin ke padang pasir untuk disiksa. Batu-batu besar dan panas ditempatkan di atas dada mereka, melumpuhkan tubuh mereka dan mencegah mereka bernapas dengan lega. Bahkan, beberapa diikat dengan rantai besi yang memanaskan tubuh mereka hingga melepuh. Di tengah segala penderitaan itu, iman mereka tetap kokoh.
Namun, penderitaan itu bukan hanya dialami oleh para sahabat. Nabi Muhammad Saw sendiri menjadi target utama dari permusuhan dan kebencian kaum Quraisy. Mereka tidak hanya menyerang fisik beliau, tetapi juga berusaha menghancurkan nama baik dan martabatnya. Salah satu bentuk penghinaan yang paling menyakitkan adalah ketika Abu Jahl menumpahkan isi perut unta ke tubuh Nabi saat beliau sedang bersujud di Ka’bah. Serangan ini dilakukan di depan publik, dengan tujuan merendahkan beliau dan mempermalukannya di hadapan para penduduk Makkah.
Namun, di tengah kekejaman dan penghinaan yang terus-menerus, Nabi Muhammad Saw menunjukkan akhlak yang sangat luar biasa. Beliau tidak pernah membalas dengan kekerasan atau kebencian. Sebaliknya, beliau tetap menampilkan kasih sayang dan kelembutan, bahkan kepada mereka yang paling keras memusuhinya.
Contoh paling mencolok dari sikap ini adalah ketika Nabi SAW berdoa agar Allah memberikan hidayah kepada dua orang yang saat itu menjadi musuh besar Islam, yaitu Abu Jahl dan ‘Umar ibn al-Khaṭṭāb. Beliau berkata, “Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan Abu Jahl atau ‘Umar ibn al-Khattab.” (HR. Tirmidzi). Doa tersebut dikabulkan Allah, meskipun bukan Abu Jahl yang menerima hidayah, melainkan ‘Umar.
Kasih sayang dan pengampunan Nabi Muhammad Saw tidak hanya terbatas pada doa-doanya. Ketika akhirnya beliau memiliki kekuasaan sebagai seorang pemimpin di Madinah, beliau bisa saja membalas dendam kepada orang-orang yang pernah menyakitinya. Namun, sebaliknya, Nabi SAW memilih untuk menegakkan sistem yang penuh dengan keadilan dan rahmat.
Salah satu contoh yang menggambarkan sikap pemaaf beliau adalah ketika sekelompok Yahudi Madinah datang dan mengucapkan “al-samu ‘alaykum” (kematian atasmu) sebagai bentuk penghinaan kepada Nabi. Istri beliau, ‘Aisyah, yang marah dengan penghinaan tersebut, langsung membalas dengan ucapan yang sama. Namun, Nabi SAW dengan lembut menegurnya, “Wahai ‘Aisyah, bersikaplah lembut! Allah itu Maha Lembut dan mencintai kelembutan dalam segala hal.” (HR. Al-Bukhārī).
Sikap pemaaf Nabi Muhammad Saw juga terlihat jelas dalam pertempuran Uhud. Meskipun tubuhnya terluka, gigi depannya patah, dan darah mengalir dari wajahnya, Nabi SAW tidak membalas dengan kutukan. Sebaliknya, beliau berdoa, “Ya Allah, ampunilah kaumku, karena mereka tidak tahu.” Para sahabat yang melihat kondisi beliau saat itu bahkan meminta Nabi SAW untuk mengutuk orang-orang yang telah melukainya. Namun, Nabi Saw menolak dengan tegas, “Aku tidak diutus sebagai tukang kutuk, melainkan sebagai rahmat.” (HR. Muslim).
Sikap pengampunan Nabi Saw juga terlihat dalam perlakuannya terhadap Hind bint ‘Utbah, seorang wanita Quraisy yang penuh dengan kebencian terhadap Nabi. Hind adalah orang yang merekrut Wahsyi, seorang budak Ethiopia, untuk membunuh paman Nabi, Hamzah, dalam Pertempuran Uhud. Meskipun Hind terlibat dalam pembunuhan brutal tersebut, ketika akhirnya ia menyerah dan memeluk Islam pada penaklukan Makkah, Nabi Saw menyambutnya dengan ramah, “Selamat datang, wahai Hind.” (HR. Al-Bukhārī).
Demikianlah, sepanjang hidupnya, Nabi Muhammad Saw terus menunjukkan bahwa akhlak mulia adalah inti dari ajaran Islam. Bahkan dalam menghadapi kekejaman yang paling ekstrem, beliau tetap teguh pada prinsip-prinsip rahmat dan keadilan. Melalui akhlaknya yang luhur, Nabi Saw mengajarkan bahwa pengampunan lebih kuat daripada balas dendam, dan bahwa kasih sayang adalah kunci untuk mengatasi kebencian.
Referensi:
Abū Nu‘aym, Aḥmad ibn ‘Abdillāh al-Iṣbahānī. Ḥilyat al-Awliyā’ wa Ṭabaqāt al-Aṣfiyā’. Egypt: Maṭba‘at al-Sa‘ādah, 1974.
al-Bukhārī, Muḥammad ibn Ismā‘īl. Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Edited by Zuhayr ibn Nāṣir. Beirut: Dār Ṭawq al-Najāh, 2002.
Muslim ibn al-Ḥajjāj al-Qushayrī. Ṣaḥīḥ Muslim. Edited by Muhạmmad Fu’ād ‘Abdul-Bāqī. Beirut: Dār Iḥyā’ al-Kutub al-‘Arabīyah, 1955.
al-Tirmidhī, Muḥammad ibn ‘Īsá. Sunan al-Tirmidhī. Edited by Bashshār ‘Awwād Ma‘rūf. Beirut: Dār al-Gharb al-Islāmī, 1998.