MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti mengatakan, jelang Pilkada 2024, ruang publik saat ini diramaikan dengan perbincangan tentang gaya kepemimpinan yang cenderung elitis, kepemimpinan yang kehilangan sensitivitas, empati, dan simpati atas keadaan masyarakat.
“Kita melihat ada pemimpin yang lebih sibuk mementingkan dirinya, kroninya, dan kelompoknya, dan mengabaikan kepentingan yang lebih besar yaitu bangsa dan negara,” ungkap Mu’ti dalam Pengajian Bulanan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah pada Jumat malam (13/9) dengan mengangkat tema “Kepemimpinan yang Melayani dan Memajukan”.
Padahal yang dibutuhkan bangsa saat ini adalah servant leadership yaitu kepemimpinan yang mengutamakan pelayanan untuk orang lain. Mu’ti menjelaskan, model kepemimpinan tersebut tidak mengutamakan diri dan keluarganya.
Bahkan tidak jarang model kepemimpinan ini mengabadikan atau mengorbankan privilege dirinya, tapi lebih mengedepankan kepentingan yang lebih luas dan terbaik bagi masyarakat.
“Kepemimpinan yang melayani adalah kepemimpinan yang senantiasa hirau terhadap kepentingan masyarakat yang dipimpinnya, sehingga dia memiliki sensitivitas yang tinggi meskipun dia tidak memiliki sesi dalam pengertian mudah tersinggung,” katanya.
Kepemimpinan yang melayani memiliki rasa cinta terhadap masyarakat, dan memiliki kedekatan yang otentik bukan superfisial dengan masyarakat yang dilayani itu. Selain itu, model kepemimpinan itu juga harus bisa memberdayakan atas segala potensi yang dimiliki oleh komunitas yang dipimpinnya itu.
“Oleh karena itu, dalam konteks ini kepemimpinan yang melayani adalah kepemimpinan yang memajukan. Kepemimpinan di mana seorang pemimpin itu kalau dalam istilah yang populer di negeri ini itu kepemimpinan yang tut wuri handayani, ing ngarso sung tuladha ing madya mangun karsa,” jelas Mu’ti.
Model kepemimpinan yang disebutkan Mu’ti itu tidak hanya berperan sebagai leader, tapi secara bersamaan juga menjadi follower. Menurutnya pemahaman ini penting, sebab banyak orang yang hanya siap di depan, tapi tidak siap ketika dia ditempatkan di lini belakang.
Guru Besar Bidang Pendidikan Islam ini menekankan, jangan sampai menjadi pemimpin yang ketika di belakang di ‘menendang-nendang’, tapi kita di tempatkan di depan dia ‘tidak bisa berjalan’. Model kepemimpinan itu, katanya, merupakan model pemimpin yang ngeributi, ngerepoti, dan ngrusuhi.
“Dia tidak bisa bikin sesuatu yang kondusif, tetapi justru membuat sesuatu yang tidak kondusif. Ketika jadi pemimpin dia lalu serba ingin dilayani, ingin serba disanjung-sanjung, ingin selalu tampil. Dia siap memimpin, tapi tidak siap untuk dipimpin,” katanya.
Kemampuan diri untuk siap dipimpin menurut Mu’ti adalah bagian dari karakter servant leadership. Oleh karena itu, ini juga bagian penting dari sistem pengembangan servant leadership. Profil kepemimpinan yang melayani dapat diteladani dari Nabi Muhammad SAW. Sebagai seorang pemimpin, Nabi Muhammad SAW hidup sangat sederhana sebagai respon perbincangan publik tentang gaya kepemimpinan.