Dalam perspektif hukum Islam, mendefinisikan korupsi secara tepat seperti dalam istilah modern mungkin terasa sulit. Hal ini karena istilah “korupsi” merupakan konsep kontemporer yang tidak memiliki padanan langsung dalam khazanah fikih atau hukum Islam klasik.
Meski begitu, korupsi sebagai bentuk kecurangan dalam interaksi sosial memiliki kemiripan dengan beberapa tindakan curang yang dilarang dalam hukum Islam. Salah satu terminologi yang sering dikaitkan dengan korupsi adalah ghulul, yang merujuk pada pengkhianatan atas amanat, terutama dalam konteks harta yang seharusnya dijaga.
Ibnu Qutaybah menjelaskan bahwa tindakan ghulul disebut demikian karena orang yang melakukan pengkhianatan tersebut menyembunyikan hasil curiannya di antara harta miliknya (Al-Zarqani, t.t). Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an, Surat Ali Imran ayat 161: “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.”
Rasulullah juga menjelaskan konsep ghulul dalam beberapa bentuk, termasuk yang mengganggu beroperasinya sistem hukum. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid al-Juhani, diceritakan tentang seorang Arab pedalaman yang meminta Nabi memberikan keputusan hukum atas anaknya yang berbuat mesum dengan istri orang lain. Meski hukum syariat mengharuskan anak tersebut dicambuk dan diasingkan, sang ayah mencoba menyogok dengan 100 ekor kambing dan seorang sahaya perempuan agar anaknya tidak dihukum.
Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa tindakan menyogok ini adalah bentuk korupsi, meskipun tidak ada kerugian ekonomi atau keuangan negara secara langsung. Perbuatan tersebut dikategorikan sebagai korupsi karena menyebabkan sistem hukum menjadi lumpuh dan tidak berjalan sebagaimana mestinya (Ibnu Taimiyah, t.t).
Dalam konteks modern, tindakan yang merusak sistem hukum, baik melalui suap, pengkhianatan, atau bentuk manipulasi lainnya, tidak hanya merugikan secara materi tetapi juga merusak tatanan keadilan dan kepercayaan publik. Oleh karena itu, dalam pandangan Islam, segala bentuk pengkhianatan dan tindakan yang merusak hukum harus dianggap sebagai perbuatan ghulul atau korupsi yang berat dosanya.
Referensi:
Muhammad ibn Abd al-Baqi ibn Yusuf al-Zarqani, Syarh al-Zarqani ‘ala Muwatha’ al-Imam al-Malik, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t.), III: 37.
Ibnu Taimiyah, Fatawa Ibn Taimiyah, (Ttp.: Maktabah Ibn Taimiyah, t.t.), XXVII: 202-203.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Fikih Tata Kelola”, dalam Berita Resmi Muhammadiyah: Nomor 06/2010-2015/Ramadhan 1435 H/Juli 2014 M, Yogyakarta: Gramasurya, 2014.