MUHAMMADIYAH.OR.ID, SURAKARTA – Menyibak masalah kemakmuran bangsa Indonesia, Ketua Majelis Diktilitbang Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Bambang Setiaji menyebut masalah utamanya adalah ketimpangan atau ketidakmerataan.
Bahkan menurutnya ketimpangan ini terjadi sejak zaman penjajahan, Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi, dan sampai dengan sekarang. Ketimpangan ekonomi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga pada level negara-negara di dunia yang terus mengalami pergantian.
Dalam Pengajian Umum PP Muhammadiyah “Kemerdekaan dan Kemakmuran Bangsa” Jumat (10/8), Prof. Bambang menjelaskan saat ini Amerika dan Barat dalam urusan ekonomi mulai surut, dan digantikan oleh Cina. Cina mulai menata ekonominya sejak 1975-an dengan pemimpinnya yaitu Deng Xiaoping.
Saat ini produk asal Cina menyerbu dunia, termasuk juga Indonesia, sehingga pabrik-pabrik di Indonesia banyak yang tutup, dan mengalami deindustrialisasi. Sebab barang-barang yang dijual di Indonesia adalah barang-barang asal Cina, kebanyakan barang jiplakan dan harganya murah.
Situasi ekonomi tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi Muhammadiyah, Guru Besar Ekonomi Bidang Tenaga Kerja ini menyebut bahwa peran keajaiban kedua yang bisa diambil oleh Muhammadiyah adalah di bidang ekonomi. Sebab keajaiban pertama adalah peran di bidang pendidikan dan kesehatan, termasuk sosial.
“Apakah kita warga Muhammadiyah kita berbuat?, jawabannya bisa. Muhammadiyah bisa ada kebangkitan kedua, dengan melakukan assembling melalui sekolah-sekolah kita,” katanya.
Assembling diharapkan, yang awalnya belanja produk ke Cina berganti menjadi produsen, di mana barang-barang yang digunakan merupakan hasil produksi dari sekolah-sekolah Muhammadiyah. Kelebihan sekolah Muhammadiyah karena swasta yang tentu kebijakannya lebih fleksibel.
Langkah itu diambil sekaligus sebagai jalan dakwah, sebab Cina mayoritas penduduknya adalah atheis maka ini adalah kesempatan baik bagi Muhammadiyah untuk mengenalkan Islam. Jika langkah ini tidak diambil oleh Muhammadiyah, dikhawatirkan akan diambil oleh kelompok sekuler.
Namun di sisi lain harus tetap waspada dengan ekspansi yang dilakukan oleh penduduk Cina, sebab penduduk negara yang besar tentu membutuhkan lahan yang lebih besar untuk mereka – hal ini yang perlu diwaspadai. Namun di waktu bersamaan mengambil kepemimpinan ekonomi Cina untuk re industrialisasi di Indonesia.
“Melalui sekolah-sekolah Muhammadiyah yang paling mungkin. Melalui sekolah negeri susah, dengan sistem birokrasi dan KPK. Saya membacanya itu hanya Muhammadiyah yang bisa,” ungkapnya.