Muhammadiyah termasuk gerakan Islam yang kritis terhadap kebijakan kolonial Belanda. Mereka sadar bahwa kolonialisme tidak hanya sekadar dominasi fisik, melainkan juga penghancuran lanskap moral, sosial, hukum, dan sistem pengetahuan yang ada. Kolonialisme hadir melakukan pembongkaran institusi Islam secara sistematis, dan Muhammadiyah menjadi salah satu garda terdepan dalam merespons tantangan ini.
Salah satu kebijakan kolonial yang berdampak signifikan adalah ordonansi guru yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1905. Aturan ini jelas-jelas dirancang untuk mengontrol dan membatasi aktivitas pengajaran agama Islam di Jawa dan Madura. Pemerintah Belanda juga hendak memantau gerak-gerik dan wacana keagamaan yang dikembangkan oleh umat Islam.
Berdasarkan Staatsblad nomor 550 tahun 1905, setiap guru agama Islam diwajibkan untuk mendapatkan izin dari bupati setempat sebelum mengajar. Izin hanya diberikan jika sang guru dianggap “baik” dan pengajarannya tidak dianggap mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Jika guru agama Islam mengajar tanpa izin, mereka dapat dihukum kurung atau denda sebesar 25 gulden.
Ketentuan ini tidak hanya membatasi kebebasan mengajar, tetapi juga menciptakan potensi konflik horizontal. Pemerintah kolonial Belanda memposisikan bupati, yang seringkali adalah tokoh lokal, sebagai penentu izin tersebut. Menurut Zaini Dahlan, aturan ini menempatkan para bupati agar berhadap-hadapan secara vis-a-vis dengan umat Islam. Strategi adu domba ala kolonial.
Muhammadiyah yang melihat dampak buruk dari kebijakan ini, tidak tinggal diam. Pada tahun 1923, melalui serangkaian rapat tertutup dan terbuka, Muhammadiyah memutuskan secara resmi menolak ordonansi guru 1905. Ketua Hoofd Bestuur Moehammadijah saat itu, H. Ibrahim, mengeluarkan “Motie Perserikatan” atau pernyataan sikap resmi organisasi yang isinya menolak kebijakan tersebut. Mosi ini disampaikan kepada pemerintah Belanda melalui telegram dan surat resmi, menunjukkan sikap tegas Muhammadiyah di hadapan publik.
Penolakan resmi Muhammadiyah ini ternyata membawa hasil. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, setelah melihat tekanan yang diberikan oleh Muhammadiyah dan gerakan Islam lainnya, mulai melunak. Pada tahun 1925, mereka akhirnya mencabut ordonansi guru 1905 dan menggantinya dengan Staatsblad nomor 219 tahun 1925. Aturan baru ini lebih longgar terhadap pengajaran agama Islam.
Perubahan ini menandai kemenangan penting Muhammadiyah dalam politik alokatif pada masa kolonial. Hal ini menunjukkan bahwa Muhammadiyah bukan hanya gerakan keagamaan, tetapi juga kekuatan politik yang diperhitungkan. Dengan keberhasilan ini, Muhammadiyah membuktikan bahwa upaya dekolonialisasi tidak harus melalui senjata, tetapi juga bisa dilakukan melalui diplomasi dan politik.
Namun, ordonansi guru tahun 1925 hanya menjadi kedok untuk menipu umat Islam. Perubahan dari Staatsblad nomor 550 tahun 1905 ke Staatsblad nomor 219 tahun 1925 hanya terlihat pada namanya, sementara inti aturan tersebut tetap sama. Salah satu butir aturannya berbunyi bahwa guru agama dapat dihukum dengan kurungan paling lama satu bulan atau denda setinggi-tingginya 200 gulden jika mereka memberikan instruksi yang sifatnya menghasut.
Muhammadiyah menyadari hal ini dan merasa bahwa kemunculan ordonansi guru yang baru ini adalah masalah serius. Mereka tidak lagi merespons seperti yang dilakukan pada tahun 1923, melainkan lebih memilih untuk terus memberikan kesadaran kepada umat Islam agar memahami situasi dan kondisi yang berkembang setelah ordonansi guru tahun 1925 diberlakukan. Salah satu cara Muhammadiyah melakukan kesadaran ini adalah melalui tulisan di media massa.
Misalnya, Fachroddin pada tahun 1926 mengemukakan pandangannya dalam majalah “Bintang Islam” yang ia pimpin. Tulisan-tulisan Fachroddin mencerminkan perubahan sikap Muhammadiyah dari yang sebelumnya bersifat lunak menjadi lebih tegas. Secara bertahap, perlawanan terhadap aturan ini semakin menguat.
Puncak dari perkembangan wacana ini terjadi pada Congres Muhammadiyah ke-17 tahun 1928 di Yogyakarta. Pada saat itu M. Junus Anies dengan lantang menolak ordonansi guru dalam Rapat Terbuka yang dihadiri oleh anggota Muhammadiyah, utusan pemerintah Belanda, surat kabar seperti de Locomotief dan Pandji Poestaka, serta tamu undangan lainnya. Di kongres ini, Muhammadiyah kembali dengan tegas menuntut pencabutan ordonansi guru.
Setahun kemudian, M. Junus Anies sebagai Sekretaris Hoofd Bestuur Moehammadijah berpidato di Solo pada pembukaan Kongres Moehammadijah ke-18 tahun 1929. Dalam pidatonya, dia menunjukkan bahwa Muhammadiyah menentang secara keras ordonansi guru 1925. Sikap Muhammadiyah terhadap ordonansi guru 1905 dan 1925 menunjukkan strategi yang cukup bijak, terkadang kooperatif tetapi di saat lain tegas berseberangan dengan Belanda.
Penargetan spesifik terhadap institusi pendidikan oleh pemerintah kolonial Belanda merupakan upaya untuk menghapus eksistensi Islam dari Indonesia secara perlahan namun pasti. Ini bukan sekadar kebijakan pengawasan terhadap guru-guru agama, tetapi bagian dari strategi yang lebih besar untuk menghancurkan basis-basis pengetahuan Islam dan menghilangkan pengaruhnya dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Dalam studi akademik, strategi semacam ini dikenal sebagai epistemicide. Pertama kali diperkenalkan diperkenalkan oleh sosiolog Portugis Boaventura de Sousa Santos pada 2007, frasa ini merujuk pada penghancuran sistem pengetahuan dan penghapusan sumber-sumber pengetahuan tradisional suatu kelompok masyarakat.
Epistemicide bertujuan untuk memutus kesinambungan tradisi intelektual suatu bangsa. Strategi semacam ordonansi guru dimaksudkan untuk itu, yaitu menghilangkan jejak peradaban pribumi dari segi pengetahuan dan kebudayaan. Di beberapa negara yang dijajah, strategi ini berhasil dengan menghancurkan sepenuhnya sistem pengetahuan lokal dan menggantinya dengan sistem pengetahuan yang didominasi oleh kolonial. Ini adalah bentuk penjajahan yang efeknya sangat sulit dipulihkan.
Namun, Muhammadiyah menyadari ancaman ini dan merespons dengan cara yang sangat bijaksana. Alih-alih terjebak dalam provokasi langsung yang bisa berakibat fatal, Muhammadiyah memilih jalan perlawanan intelektual dan politik yang terukur. Muhammadiyah berusaha membangun kesadaran di kalangan umat Islam tentang bahaya laten dari kebijakan-kebijakan tersebut. Memanfaatkan media massa dan forum-forum resmi seperti kongres, Muhammadiyah memastikan bahwa semangat perlawanan tetap hidup di kalangan umat Islam.
Perlawanan Muhammadiyah terhadap ordonansi guru dan upaya kolonial lainnya bukan hanya tentang mempertahankan hak mengajar agama, tetapi juga tentang mempertahankan eksistensi Islam sebagai bagian integral dari identitas bangsa Indonesia. Muhammadiyah mengerti bahwa pendidikan adalah benteng terakhir yang harus dipertahankan dalam menghadapi serangan kolonial.
Muhammadiyah dan gerakan Islam lainnya berhasil memainkan peran penting dalam mempertahankan identitas keislaman bangsa Indonesia hingga akhirnya Indonesia meraih kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Muhammadiyah yang bekerjasama dengan gerakan lainnya tidak hanya berperan dalam membebaskan fisik bangsa ini dari belenggu penjajahan, tetapi juga membebaskan pikiran dan jiwa bangsa ini dari pengaruh negatif kolonialisme.
Referensi:
Alfian, Politik kaum modernis: Perlawanan Muhammadiyah terhadap kolonialisme Belanda, al-Wasat, 2010.
Budd L. Hall dan Rajesh Tandon, “Decolonization of knowledge, epistemicide, participatory research and higher education”, dalam Research for All, 1 (1), 2017, 6–19.
Farid Setiawan, “Kebijakan pendidikan Muhammadiyah terhadap ordonansi guru”, dalam Jurnal Pendidikan Islam, 3(1), 2014, 47-70.
Zaini Dahlan, “Respons Muhammadiyah di Indonesia Terhadap ordonansi Guru Awal Abad XX”, dalam Islamijah: Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 1, No. 1 (2020), pp. 26-48.