MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Dalam kajian hukum Islam, pertentangan atau ta‘arud di antara dalil-dalil sering kali menjadi tantangan bagi para ulama. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modern yang berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah, memiliki beberapa metode untuk menyelesaikan ta‘arud dalil ini.
Menurut Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Muhammad Abdul Fattah Santoso dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (21/08) mengatakan bahwa metode untuk menyelesaikan pertentangan dalil ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap dalil tetap dihormati dan diintegrasikan dalam praktik keagamaan.
Pendekatan pertama yang digunakan adalah al-jam‘u wa at-taufîq, yaitu metode mengharmonisasi dalil-dalil yang tampaknya bertentangan dengan menerima semuanya. Dalam praktiknya, metode ini memberikan kebebasan kepada umat untuk memilih dalil yang lebih sesuai dengan situasi atau keyakinan mereka.
Sebagai contoh, dalam hal bacaan basmalah sebelum surat Al-Fatihah pada shalat jahr (shalat yang bacaannya dikeraskan), terdapat dua pendapat yang saling bertentangan. Pendapat pertama mengizinkan imam untuk mengeraskan bacaan basmalah.
Pandangan ini diperkuat oleh hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah dan Ummu Salamah: “Dari Nu’aim al-Mujmir berkata: Aku shalat di belakang Abu Hurairah, lalu dia membaca ‘Bismillahirrahmanirrahim’, kemudian membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah)…” (HR. An-Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi, dan Ad-Daraqutni).
Hadis lain dari Ummu Salamah juga menyebutkan: “Dari Ummu Salamah bahwa dia ditanya tentang bacaan Rasulullah SAW. Dia berkata: ‘Beliau memotong bacaannya ayat demi ayat (Bismillahirrahmanirrahim, Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, Arrahmanirrahim, Maliki Yaumid Din)’.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Al-Hakim).
Namun, terdapat juga pendapat lain yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW dan para sahabat, seperti Aisyah dan Anas bin Malik, tidak mengeraskan bacaan basmalah: “Dari Aisyah berkata: Rasulullah SAW memulai shalat dengan takbir dan bacaan Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin…” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan Thabrani).
Hadis lain menyatakan: “Dari Anas berkata: Aku shalat bersama Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar, dan Utsman, tetapi aku tidak mendengar salah satu dari mereka membaca Bismillahirrahmanirrahim.” (HR. Muslim, An-Nasa’i, Ahmad, dan Ibnu Hibban).
Dalam kasus ini, Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada jamaah untuk mengikuti pendapat yang lebih sesuai dengan keadaan atau kebutuhan mereka.
Metode kedua adalah at-tarjih, yaitu memilih dalil yang dianggap lebih kuat atau lebih shahih untuk diamalkan, sementara dalil yang lebih lemah ditinggalkan. Contoh yang bisa diambil adalah terkait dengan niat shalat. Dalam satu pendapat yang mengikuti Imam Syafi’i, niat harus dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihram, yang menjadikannya sebagai rukun shalat. Namun, dalam pendapat lain yang diikuti oleh mayoritas ulama (jumhur), niat dapat mendahului shalat sebagai bentuk kesadaran sebelum memulai ibadah.
Dalam praktiknya, Muhammadiyah cenderung menggunakan metode at-tarjîh untuk menentukan mana dalil yang lebih kuat dan relevan dalam konteks ibadah sehari-hari.
Metode an-naskh mengharuskan mengamalkan dalil yang datangnya lebih akhir dan meninggalkan dalil yang lebih awal. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa dalil yang datang belakangan telah menghapus atau menggantikan dalil sebelumnya.
Sebagai contoh, dalam Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih ke-31 yang digelar pada November-Desember 2020, Muhammadiyah memutuskan untuk mengubah kriteria waktu shalat Subuh dari matahari berada di bawah ufuk minus 20 derajat menjadi minus 18 derajat, menggantikan keputusan sebelumnya pada Munas ke-27 tahun 2010.
Terakhir, metode at-tawaqquf digunakan ketika para ulama merasa belum menemukan dalil yang cukup kuat untuk menentukan suatu hukum. Dalam kondisi ini, mereka menunda pengambilan keputusan dan melakukan penelitian lebih lanjut.
Contoh nyata dari pendekatan ini dapat dilihat pada Munas Tarjih ke-26 di Padang, Sumatera Barat, ketika Muhammadiyah membahas masalah fikih perempuan. Pada saat itu, keputusan mengenai beberapa masalah fikih perempuan ditunda hingga penelitian lebih lanjut dapat dilakukan.
Pendekatan Muhammadiyah dalam menyikapi ta‘arud dalil mencerminkan komitmen terhadap pemahaman Islam yang dinamis, adaptif, dan relevan dengan konteks zaman. Dengan berbagai metode yang digunakan, Muhammadiyah berupaya memastikan bahwa umat Islam dapat menjalankan ibadah dengan penuh keyakinan, sesuai dengan prinsip syariat yang telah ditetapkan.