Ketika bulan Agustus tiba, suasana di seluruh penjuru Indonesia berubah menjadi lebih semarak. Bendera merah putih berkibar di setiap sudut, dan berbagai kegiatan digelar untuk memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia.
Namun, di balik semaraknya perayaan ini, muncul pertanyaan yang kerap memicu diskusi di kalangan umat Islam: Apakah memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia termasuk bid’ah?
Dalam konteks hukum Islam, bid’ah sering kali diartikan sebagai inovasi atau hal baru yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW dan tidak memiliki dasar dalam Al-Quran maupun Hadis. Namun, tidak semua yang baru otomatis dianggap sebagai bid’ah yang terlarang. Untuk memahami lebih dalam, perlu dipilah antara bidang akidah dan ibadah khusus (mahdhah) dengan muamalah duniawiyah.
Muhammadiyah memiliki pandangan yang tegas mengenai bid’ah. Dalam Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah, dijelaskan bahwa bid’ah hanya berlaku dalam ranah akidah dan ibadah khusus. Artinya, setiap amalan yang berkaitan dengan akidah dan ibadah khusus harus berdasarkan dalil yang jelas dan dapat diterima (maqbul). Dalam konteks ini, perayaan yang bersifat ritual atau ibadah tanpa dasar yang kuat memang bisa dianggap sebagai bid’ah.
Namun, peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia lebih tepat dimasukkan ke dalam kategori muamalah duniawiyah, yakni segala hal yang berhubungan dengan urusan duniawi. Berdasarkan kaidah usul fikih bahwa dalam bidang muamalah, hukum asalnya adalah mubah (diperbolehkan) selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Salah satu aspek penting dalam peringatan Hari Kemerdekaan adalah upacara bendera. Beberapa kalangan menganggap hormat kepada bendera sebagai bentuk penyembahan yang tidak dibenarkan dalam Islam. Namun, Muhammadiyah memandangnya dari sudut berbeda. Hormat kepada bendera dalam upacara dianggap sebagai bentuk penghormatan (li al-ihtiram) kepada jasa para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan, bukan sebagai bentuk ibadah (li al-ta‘abbud).
Dalam konteks ini, hukum asal upacara dan perayaan kemerdekaan adalah boleh, selama tidak ada unsur yang bertentangan dengan ajaran agama. Misalnya, pakaian yang dikenakan selama upacara harus sopan dan menutup aurat, dan segala bentuk perlombaan atau kegiatan yang diadakan dalam peringatan kemerdekaan harus bebas dari unsur judi dan taruhan yang jelas dilarang dalam Islam.
Karena itu, peran tokoh masyarakat sangat penting dalam memberikan edukasi kepada umat mengenai bagaimana seharusnya memperingati Hari Kemerdekaan. Kegiatan-kegiatan yang diadakan sebaiknya diisi dengan hal-hal positif dan edukatif, seperti pengajian, ceramah kebangsaan, atau lomba-lomba yang membangun karakter dan memperkuat nilai-nilai patriotisme.
Perayaan kemerdekaan juga sebaiknya dihindarkan dari perilaku yang berlebihan (israf) dan mubazir, karena hal tersebut akan mengurangi makna dari perayaan itu sendiri. Allah SWT telah melarang perilaku berlebih-lebihan dalam Al-Quran, dan umat Islam diingatkan untuk menjauhi hal-hal yang tidak berguna.
Secara keseluruhan, memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia tidak dapat dikategorikan sebagai bid’ah dalam pengertian yang sempit. Sebaliknya, perayaan ini merupakan bagian dari muamalah duniawiyah yang diperbolehkan, selama dilakukan dengan cara yang sesuai dengan ajaran Islam. Bagi Muhammadiyah dan tokoh masyarakat lainnya, penting untuk mengarahkan peringatan ini agar menjadi momen refleksi dan penguatan nilai-nilai kebangsaan dan keislaman yang sejalan dengan semangat kemerdekaan.
Mari jadikan Hari Kemerdekaan Indonesia sebagai momentum untuk bersyukur atas nikmat kemerdekaan yang telah diberikan Allah SWT, sekaligus mengisinya dengan kegiatan yang bermanfaat bagi umat dan bangsa.
Referensi:
Majalah Suara Muhammadiyah, No.16, 2018.
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, “Hukum Merayakan HUT Republik Indonesia”, https://fatwatarjih.or.id/hukum-merayakan-hut-republik-indonesia/, diakses pada Rabu, 14 Agustus 2024.