Dalam pandangan sebagian orang, individu-individu yang tidak pernah menerima dakwah dianggap akan dibebaskan tanpa proses pengadilan di hari kiamat. Mereka serupa dengan nasib orang gila yang tak terkena taklif atau beban hukum. Namun, benarkah keyakinan ini? Dan apa dasar dari pandangan tersebut?
Masalah ini sebenarnya adalah perdebatan klasik yang telah menjadi diskursus panjang di kalangan ulama sejak masa-masa awal perkembangan Islam. Para ulama, khususnya dalam bidang kalam dan usul fiqh, telah terbagi menjadi dua pendapat besar dalam menanggapi isu ini.
Pendapat pertama mengatakan bahwa setiap manusia, termasuk mereka yang belum menerima dakwah Rasul, tetap dikenai taklif. Argumennya adalah bahwa Tuhan telah menganugerahi manusia akal yang dengan akal itu, manusia dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan akal tersebut, manusia seharusnya mampu mengenal Tuhan dan merasa wajib untuk bersyukur kepada-Nya. Oleh karena itu, meski dakwah belum sampai kepadanya, manusia tetap memiliki tanggung jawab untuk beriman dan berbuat baik.
Di sisi lain, pendapat kedua berargumen sebaliknya. Menurut pandangan ini, orang yang belum menerima dakwah Rasul tidak dikenai taklif sama sekali. Akal manusia, dalam pandangan kelompok ini, tidak dapat secara mandiri mengetahui apa yang baik dan buruk serta tidak mampu memahami kewajiban bersyukur kepada Tuhan tanpa bimbingan wahyu. Oleh karena itu, mereka tidak wajib beriman atau beramal shaleh, dan tidak pula diharamkan untuk melakukan kekufuran atau kemaksiatan. Keseluruhan kewajiban tersebut baru berlaku ketika seseorang telah menerima wahyu yang dibawa oleh seorang Rasul.
Al-Qur’an sendiri mengandung ayat-ayat yang dapat diinterpretasikan untuk mendukung kedua pandangan tersebut. Pendapat kedua, misalnya, dapat didukung oleh firman Allah dalam surat al-Isra (17): 15, “…dan Kami tidak akan memberi siksa sebelum Kami mengirim seorang Rasul.” Sementara itu, dalam surat al-Qashash (28): 59, dinyatakan, “Dan tidaklah Tuhanmu membinasakan kota-kota sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka.” Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa hukuman hanya berlaku setelah dakwah sampai kepada seseorang.
Namun, di sisi lain, terdapat pula ayat yang menyatakan bahwa siapa pun yang beriman kepada Tuhan dan hari kemudian serta berbuat baik, akan mendapat keselamatan di akhirat. Contohnya, dalam surat al-Baqarah (2): 62, Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Sabiin, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian serta beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih.”
Penafsiran terhadap ayat-ayat ini pun bervariasi, termasuk upaya kompromi yang dilakukan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Rida dalam Tafsir al-Manar. Mereka menyatakan bahwa agama adalah ketetapan Ilahi yang tidak dapat dicapai oleh akal manusia tanpa wahyu, namun agama juga sejalan dengan fitrah manusia dalam usaha mensucikan diri dan mempersiapkan kehidupan.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa orang yang belum menerima dakwah Rasul, tetapi beriman kepada Tuhan dan Hari Pembalasan serta berbuat baik, akan tetap mendapat balasan dari Tuhan. Namun, kewajiban beribadah dan ketundukan penuh kepada hukum agama hanya berlaku bagi mereka yang telah menerima dakwah. Oleh karena itu, sulit untuk menyamakan mereka yang belum menerima dakwah dengan orang gila yang tidak dikenai taklif sama sekali. Wallahu a’lam.
Sumber:
Tanya Jawab Agama IV, 10-14.