Pemberian nama bagi seorang anak adalah sebuah tanggung jawab besar yang diemban oleh orang tua. Islam menekankan pentingnya memilih nama yang baik, karena nama bukan sekadar identitas, melainkan juga doa dan harapan.
Sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, setiap anak wajib diberi nama yang baik, seperti yang tercantum dalam hadis: “Tiap anak tergadai dengan akikahnya, sampai disembelihkan (kambing) untuknya pada hari ketujuh kelahiran, dicukur rambut kepalanya dan diberi nama (dengan nama yang baik).” (HR. Ibnu Majah).
Dalam Al-Qur’an, terdapat beberapa contoh nama yang diberikan oleh Allah SWT, seperti nama Yahya yang diberikan kepada putra Nabi Zakaria AS, dan nama Maryam yang diberikan kepada putri Imran. “Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu dengan seorang anak laki-laki namanya Yahya, yang Kami belum pernah memberikan nama seperti itu sebelumnya.” (QS. Maryam [19]: 7).
Dalam ayat lain disebutkan, “Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada setan yang terkutuk.” (QS. Ali Imran [3]: 36).
Namun, bagaimana jika anak tersebut diangkat sebagai anak asuh oleh orang tua asuh? Bolehkah nama anak asuh tersebut diganti oleh orang tua asuh? Pertanyaan ini sering muncul dalam konteks pengasuhan anak, terutama di tengah masyarakat yang memiliki tradisi kuat dalam memberi atau mengganti nama.
Secara prinsip, Islam tidak melarang orang tua asuh untuk mengganti nama anak asuhnya, asalkan memenuhi beberapa syarat yang penting. Pertama, tujuan dari pemberian atau penggantian nama haruslah untuk kemaslahatan anak tersebut. Jika tidak ada manfaat yang jelas, sebaiknya pergantian nama tidak dilakukan.
Kedua, penggantian nama tidak boleh menghilangkan status nasab atau garis keturunan anak tersebut. Identitas nasab merupakan hak fundamental yang tidak boleh dihilangkan, karena hal ini berkaitan dengan hak waris dan identitas diri anak. Oleh karena itu, penting untuk tetap mempertahankan nasab anak dalam namanya.
Selain itu, penting untuk mengkomunikasikan perubahan nama ini kepada orang tua kandung (jika diketahui) atau pihak panti asuhan. Komunikasi yang baik dan transparan akan menghindari potensi konflik atau kesalahpahaman yang mungkin timbul di kemudian hari. Penggantian nama juga harus dilakukan sesuai dengan hukum positif yang berlaku di negara tersebut, mengingat setiap negara memiliki aturan yang berbeda terkait perubahan identitas.
Anak yang sudah cukup dewasa dan dapat diajak berbicara juga sebaiknya dilibatkan dalam proses ini. Sebagai individu, anak memiliki hak untuk menentukan identitasnya sendiri, termasuk nama yang akan digunakannya. Pemilihan nama harus inklusif, tidak menimbulkan polemik atau ketidaknyamanan baik bagi anak maupun keluarga kandungnya.
Dalam beberapa budaya, perubahan nama dilakukan untuk menghindari malapetaka atau untuk memberi makna baru dalam kehidupan seseorang. Misalnya, seseorang yang baru pulang haji sering kali mengganti namanya menjadi lebih Islami, sebagai bentuk refleksi spiritual setelah menunaikan ibadah haji.
Dengan mempertimbangkan berbagai aspek tersebut, orang tua asuh dapat mengganti nama anak asuhnya dengan tetap menjaga nilai-nilai Islam, hukum, dan etika sosial. Nama yang diberikan haruslah mencerminkan kebaikan, memberi makna positif bagi anak, serta menghormati identitas asli dan hak-hak anak sebagai individu.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Orang Tua Asuh Memberi Atau Mengubah Nama Anak Asuh”, dalam Majalah Suara Muhammadiyah, No. 13 Tahun 2021.