MUHAMMADIYAH.OR.ID, SURABAYA – Tidak bisa dipungkiri, masalah hukum dan HAM di Indonesia masih saja terjadi. Meski upaya penegakan hukum terus dilakukan, tapi seakan masalah ini sudah menahun di Indonesia.
Hal itu disampaikan oleh Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Busyro Muqoddas pada (6/7) dalam Workshop & Training Of Trainers Sekolah Hak Asasi Manusia yang diadakan Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah di Surabaya.
Busyro memandang eskalasi kasus HAM di Indonesia terjadi begitu cepat, bahkan dia menyebut Indonesia sebagai laboratorium kasus HAM terlengkap di seluruh dunia – mulai dari kasus korupsi sampai dengan perizinan itu ada.
Lebih-lebih masalah kasus korupsi, menurutnya tidak bisa disimplifikasi atau disederhanakan sebab di dalamnya terdiri dari beberapa aspek yang bisa jadi saling berkaitan antara kejadian yang satu dengan yang lain.
“Itu menggambarkan bahwa problem hukum, demokrasi, dan HAM itu sampai sekarang masih di depan mata kita, belum lagi kasus lainnya,” ungkap Busyro.
Mantan Ketua KPK RI ini mendedahkan, kasus korupsi tidak hanya dipahami sebagai korupsi anggaran, demokrasi, maupun perizinan saja tapi juga ada korupsi kepemimpinan misalnya melanggengkan kekuasaan melalui jalur yang tidak semestinya.
Selain dihadapkan dengan fakta-fakta kasus hukum dan HAM yang masih saja terjadi, bangsa ini secara bersamaan dihadapkan dengan masalah demoralisasi aparat penegak hukum yang seharusnya dihormati karena independensinya.
“Kita semua dihadapkan dengan problem yang sangat pelik, rumit, dan sangat kompleks,” katanya.
Oleh karena itu sekolah HAM ini memiliki posisi penting jika dihadapkan dengan konteks masalah-masalah hukum dan HAM yang terjadi di Indonesia, baik dulu maupun yang terjadi belakangan.
Busyro berharap dari sekolah HAM ini akan ada afirmasi dan desain yang relevan dengan konteks permasalahan yang dihadapi oleh umat, bangsa, dan kemanusiaan universal.
“Kami optimis sekali dari program MHH ini secara nasional, sehinga nanti acara yang berlangsung sampai besok tidak berhenti di situ. Tapi MHH perlu membuat timeline, bisa saja dengan penyusunan modul,” harap Busyro.
Di sisi lain, terkait dengan potensi Majelis Diktilitbang yang memiliki sumber daya manusia potensial, Busyro juga mendorong adanya kolaborasi antara MHH dengan Majelis Diktilitbang untuk bergerak lintas atau interdisciplinar.
“Dengan demikian PTM semakin akrab, makin lekat dengan problem-problem kemanusiaan dalam beragam isu,” katanya.
Melalui kolaborasi itu kampus tidak lagi dianggap sebagai pabrikasi sarjana. Sebab menurut Busyro gelar akademik akan memiliki arti jika kompetensi akademik yang dimiliki bisa bersentuhan dengan realitas yang dihadapi oleh masyarakat.