MUHAMMADIYAH.OR.ID, SIDOARJO – Sebagai sahabat sekampung halaman dari Prof. Syafiq A. Mughni, Prof. Ahmad Jainur Wakil Ketua II Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah mengungkapkan jejak Prof. Syafiq adalah sosok cendekiawan yang melintas batas.
Prof. Syafiq merupakan Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mulai dari periode 2010-2015, 2015-2022, dan 2022-2027, sekaligus juga Guru Besar Fakultas Adab Bidang Sejarah Kebudayaan Islam di UIN Sunan Ampel Surabaya. Prof. Jainuri menyebut, bahwa fokus Prof. Syafiq pada studi islam karena latar belakangnya.
“Kita tinggal di kabupaten yang sama Lamongan, Prof. Syafiq ini di pesisir utara Jawa, saya tengah, selatan itu lain lagi. Pesisir utara itu karakteristik masyarakatnya itu santri tulen,” ungkap Prof. Jainuri pada Kamis (27/6) dalam acara Peluncuran Buku Cendekiawan Melintas Batas 70 tahun Perjalanan Syafiq A. Mughni di UMSIDA.
Mengutip berbagai sumber, Jainuri mengungkapkan, bahwa karakteristik masyarakat Lamongan terbagi ke dalam tiga jenis, yang di pesisir utara dikenal sebagai kalangan santri, di tengah persimpangan antara santri dan abangan, sementara di sisi selatan adalah masyarakat abangan.
Akan tetapi menurutnya saat ini pembagian tiga karakteristik itu sudah mulai memudar – kini semua menjadi santri akibat dari intensitas dakwah Muhammadiyah yang dilakukan di Lamongan, khususnya di sisi selatan. Terkait dengan itu, menurutnya budaya yang ada akan membentuk watak dan karakter orang yang tinggal di situ.
Meski awalnya menempuh pendidikan di MI Muhammadiyah Paciran, Lamongan, dan lanjut pendidikan pesantren dari SMP sampai SMA di Pesantren Persis, Bangil, Pasuruan, Prof. Jainuri mengira Prof. Syafiq adalah orang yang beragama secara rigid.
Akan tetapi akibat bersentuhan dengan dunia baru, stigma sebagai pemeluk agama yang rigid, yang melekat pada Prof. Syafiq itu memudar.
Dunia baru Prof. Syafiq itu menurut Prof. Jainuri adalah ketika menempuh pendidikan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya, dan di Universitas California Los Angeles (UCLA) ketika Prof. Syafiq menyelesaikan pendidikan magister dan doktor, yang kemudian membentuk Prof. Syafiq menjadi cendekiawan yang melintas batas.
“Jadi setelah bersentuhan dengan lingkungan baru, setelah 1972 itu menjadi sosok – kawasan Paciran dan Bangil menjadi pribadi yang muslim yang sangat taat. Sentuhan budaya luar dan lain sebagainya menjadi cendekiawan lintas batas,” ungkap Prof. Jainuri.
“Pak Syafiq itu fokus pada substansi, tidak obral pada variasi. Jadi tidak macam-macam,” tandasnya