MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Saad Ibrahim merespons soal konsep tanazul atau murur untuk mengatasi kepadatan yang terjadi di Muzdalifah dan Mina yang disiapkan Kemenag.
Saad menjelaskan, dalam islam ada prinsip yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Namun, dalam beberapa kondisi, islam memberikan ruang untuk keluar apabila terjadi kesulitan-kesulitan. Lantas, ia mengkontesktuaslisasikan dengan pelaksanaan ibadah haji.
“Lebih-lebih sekali lagi kepada mereka yang sekali lagi dalam konteks ini uzur dan sebagainya, karena misalnya lansia dan lain sebagainya seperti itu. Sehingga dalam kaitan dengan ini berlaku hal yang seperti itu [darurat],” kata Saad dalam konferensi pers tentang haji di Kantor PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (4/6).
Saad mengatakan, ulama-ulama terdahulu telah memiliki jawaban dari permasalahan tersebut. Bahkan, ia menegaskan ada beberapa mazhab yang menyebutkan bahwa mabit atau menginap adalah sunah.
“Nah, sehingga hal yang seperti ini tentu sekali lagi ketika itu diambil oleh sebagian kecil tadi itu karena adanya 40.000 ya, sementara kita yang Indonesia saja 200.000 lebih dan sebagainya seperti itu. Maka dalam konteks ini bisa menggunakan hal yang seperti itu,” ucap Saad.
Lebih jauh, Saad menegaskan, apabila mengikuti Mazhab Imam Syafi’i, yaitu mazhab yang dipakai oleh sebagaian besar masyarakat Indonesia, apabila ada uzur, tidak diwajibkan kepada para jemaah untuk membayar dam (denda).
Tanazul adalah proses meninggalkan tenda yang disediakan untuk jemaah haji dan menuju hotel di Makkah setelah selesai melontar Jumrah Aqabah pada tanggal 10 Zulhijah.
Dalam konsep tanazul yang akan diterapkan oleh Kementerian Agama, jemaah haji sebenarnya tidak sepenuhnya meninggalkan Mina. Mereka akan kembali ke Mina pada malam hari, melakukan mabit sebentar pada mu’dzamul lail, dan kemudian melontar jumrah. Proses ini berlangsung hingga hari ketiga.