MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DI Yogyakarta mengkaji kitab Syamsul Anwar. Kitab yang dikarang Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini berjudul Ushul al-Fiqh: Dirasah Naqdiyyah fi Aliyat Iktisyaf al-Ahkam al-Syar’iyyah. Kitab yang berisi tentang teori-teori hukum Islam ini dikaji setiap pekan hari Selasa.
Pada Selasa (21/05), Arief Assofi diberi tugas untuk membaca. Ia membaca paparan Syamsul soal pembagian hukum syariah. Dalam ilmu usul fikih, hukum syariah dibagi menjadi dua bagian utama: hukum taklifi dan hukum wad’i.
Hukum taklifi merujuk pada permintaan syar’i kepada mukallaf, yakni individu yang dibebani hukum, untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, atau memberi kebebasan memilih antara keduanya. Permintaan ini bisa bersifat tegas maupun tidak tegas, dan berdasarkan sifatnya, hukum taklifi dibagi menjadi lima kategori:
1) Wajib: Permintaan tegas untuk melakukan sesuatu. Contohnya adalah shalat lima waktu yang diwajibkan bagi setiap Muslim;
2) Sunnah: Permintaan tidak tegas untuk melakukan sesuatu. Misalnya, shalat sunnah rawatib yang dianjurkan namun tidak diwajibkan;
3) Haram: Permintaan tegas untuk meninggalkan sesuatu. Contohnya adalah larangan minum khamr (minuman keras);
4) Makruh: Permintaan tidak tegas untuk meninggalkan sesuatu. Misalnya, makan bawang sebelum shalat berjamaah yang dianjurkan untuk dihindari namun tidak dilarang keras;
5) Mubah: Kebebasan memilih antara melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Misalnya, pilihan untuk makan atau minum jenis tertentu selama tidak ada larangan khusus.
Hukum wad’i, di sisi lain, adalah ketika syar’i menetapkan sesuatu sebagai sebab bagi hal lain, atau sebagai syarat, atau sebagai penghalang. Hukum ini menghubungkan dua hal di mana salah satunya menjadi sebab, syarat, atau penghalang bagi yang lain.
Contoh pertama hukum wad’i adalah menghidupkan tanah mati yang menjadi “sebab” kepemilikan tanah tersebut. Nabi Muhammad Saw bersabda: “Barang siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya” [Diriwayatkan oleh Abu Daud dan disahihkan oleh Al-Arna’ut dan Muhammad Kamil Qarrah Belli].
Contoh kedua adalah berlalunya satu tahun hijriah atas harta yang menjadi “syarat” kewajiban membayar zakat. Nabi Saw bersabda: “Tidak ada zakat pada harta hingga berlalu satu tahun hijriah atasnya” [Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah].
Contoh ketiga adalah ahli waris yang menjadi “penghalang” dari hak untuk menerima wasiat. Nabi Saw bersabda: “Tidak ada wasiat bagi ahli waris” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan disahihkan oleh Al-Arna’ut dan Al-Albani].
Berdasarkan penjelasan di atas, hukum wad’i dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1) Sebab (al-sababiyah): Sesuatu yang menjadi penyebab munculnya hukum lain; 2) Syarat (al-syarthiyah): Sesuatu yang harus terpenuhi agar hukum lain berlaku; 3) Penghalang (al-mani’iyah): Sesuatu yang mencegah berlakunya hukum lain.
Pemahaman tentang hukum taklifi dan hukum wad’i memberikan kerangka kerja yang jelas bagi umat Islam untuk memahami perintah dan larangan dalam syariah serta kondisi-kondisi yang mempengaruhi berlakunya suatu hukum. Dengan memahami kedua jenis hukum ini, seorang Muslim dapat menjalankan ajaran agama dengan lebih terarah dan tepat, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh syar’i.