Pertanyaan yang sering muncul di kalangan ulama adalah bagaimana cara mengetahui hukum Tuhan. Apakah akal manusia mampu mengetahuinya, atau hanya melalui wahyu? Pertanyaan ini sebenarnya merupakan persoalan epistemologi hukum dalam syariat Islam.
Dalam kajian baca kitab Ushul al-Fiqh: Dirasah Naqdiyyah fi Aliyat Iktisyaf al-Ahkam al-Syar’iyyah karya Syamsul Anwar pada Selasa (21/05), Arief Assofi selaku pembaca mengatakan bahwa ada tiga teori utama yang berkembang di kalangan ulama ushul dalam masalah ini, yaitu teori rasionalisme (al-‘aqlaniyyah), teori tradisionalisme (al-taqlidiyyah), dan teori rekonsialisme (al-taufiqiyyah).
Pertama, teori al-‘aqlaniyyah dianut oleh kaum Mu’tazilah. Mereka berpegang pada salah satu dari lima prinsip dasar mereka, yaitu keadilan Tuhan. Menurut mereka, keadilan Tuhan mengharuskan manusia dianggap sebagai makhluk yang memiliki kemampuan atau kekuatan. Dengan kata lain, manusia tidak lemah dan memiliki kemampuan untuk mengetahui hukum Tuhan melalui akalnya, bahkan bila tanpa wahyu.
Kaum Mu’tazilah percaya bahwa setiap perbuatan memiliki sifat dan karakteristik intrinsik yang bisa dikenali melalui akal. Ini dikenal sebagai teori “tahsin” (penyempurnaan) dan “taqbih” (penghinaan) akal. Mereka menyatakan bahwa segala sesuatu yang bermanfaat adalah baik dan wajib dilakukan oleh mukallaf, dan ia akan mendapatkan pahala. Sebaliknya, segala sesuatu yang merugikan adalah buruk dan harus dihindari, dan pelanggarannya akan mendapat hukuman. Mereka bahkan berpendapat bahwa orang yang belum menerima wahyu tetap dibebani untuk melakukan kebaikan yang diketahui oleh akalnya dan menjauhi keburukan.
Kedua, teori al-taqlidiyyah diajukan oleh kaum Asy’ariyah. Dasar teologis mereka adalah kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan. Menurut pandangan ini, manusia adalah makhluk yang lemah dan tidak dapat mengetahui hukum Tuhan tanpa wahyu. Akal tidak bisa menentukan apa yang baik atau buruk karena tidak ada sifat intrinsik dalam perbuatan yang dapat menjadi standar penilaian.
Kalangan Asy’ariyah percaya bahwa sesuatu yang baik adalah apa yang ditentukan baik oleh Tuhan, dan yang buruk adalah apa yang ditentukan buruk oleh Tuhan. Oleh karena itu, hukum Tuhan hanya dapat diketahui melalui wahyu yang disampaikan oleh para Rasul. Bagi mereka yang belum menerima wahyu, atau tidak adanya dakwah Islam, maka tidak ada beban hukum.
Ketiga, pendekatan al-taufiqiyyah yang berusaha menggabungkan kedua teori sebelumnya. Teori ini dianut oleh kaum Maturidiyah. Mereka percaya bahwa akal bisa mengetahui apa yang baik dan buruk karena sifat intrinsik dalam perbuatan. Akal bisa memahami bahwa pelaku kebaikan layak dipuji dan pelaku keburukan layak dicela. Namun, akal tidak bisa menentukan bahwa Tuhan mewajibkan perbuatan baik dan memberikan pahala untuk itu, atau bahwa Tuhan melarang perbuatan buruk dan menghukumnya. Tidak ada kaitan langsung antara kemampuan akal untuk mengetahui dan kewajiban hukum serta pahala dan hukuman dari Tuhan.
Jadi, dalam pendekatan al-taufiqiyyah, ada pengakuan terhadap kemampuan akal dalam mengenali kebaikan dan keburukan, namun pengetahuan ini tidak cukup untuk menentukan hukum syariat tanpa bantuan wahyu. Wahyu diperlukan untuk memberikan kejelasan tentang kewajiban agama dan konsekuensi hukum dari perbuatan tersebut.
Ketiga teori ini menunjukkan pendekatan yang berbeda dalam memahami bagaimana hukum Tuhan dapat diketahui. Kaum Mu’tazilah mengandalkan akal, kaum Asy’ariyah bergantung sepenuhnya pada wahyu, dan kaum Maturidiyah mencoba menggabungkan keduanya.
“Di sini Prof Syamsul Anwar tidak mentarjih salah satu dari ketiga pandangan,” ucap Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DI Yogyakarta Arief Assofi.