Setiap tahun, umat Islam di seluruh dunia merayakan sebuah momen istimewa yang disebut Idul Fitri. Dalam bahasa Arab, kata ‘Id’ selau dimaknai sebagai “hari raya”, sebuah waktu yang dipenuhi dengan kebaikan dan kemurahan dari Allah yang kembali berulang-ulang setiap tahunnya. Etimologi kata ‘Id’ sendiri mengarah pada kata “al-mausim”, yang berarti musim, sebuah istilah yang menggambarkan siklus berulang yang selalu hadir.
Idul Fitri bukan hanya sekadar hari raya biasa. Ia memiliki makna yang dalam bagi umat Islam, khususnya bagi mereka yang menjalani ibadah puasa Ramadan. Setelah sebulan penuh menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal lain yang membatalkan puasa, Idul Fitri menjadi momen pelepasan yang dinantikan. Hari di mana mereka yang menjalani ibadah puasa Ramadan akhirnya berbuka, mengakhiri serangkaian pengorbanan dan ketaatan.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ يُضَحِّي النَّاسُ. [رواه الترذي]
“Diriwayatkan dari ‘Aisyah bahwa ia mengatakan: Rasulullah saw bersabda: Idul Fitri adalah hari ketika orang berbuka puasa dan Idul Adlha adalah hari ketika orang menyembelih kurban. [HR. at-Tirmidzi, dalam Sunan-nya, “Kitab as-Shaum,” hadis no. 802].
Rasulullah Saw menjelaskan makna Idul Fitri dalam hadis yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah, “Idul Fitri adalah hari ketika orang berbuka puasa.” Kata-kata ini menegaskan bahwa Idul Fitri bukan sekadar perayaan, tetapi juga penanda akhir dari bulan suci Ramadan, sebuah momen penting yang memperkuat ikatan spiritual antara individu dengan Allah.
Hari raya Idul Fitri tidak hanya ditandai dengan berbuka puasa, tetapi juga dengan pelaksanaan salat Idul Fitri secara berjamaah. Ibadah ini merupakan bagian penting dari tradisi Islam yang disyariatkan oleh Rasulullah Saw pada tahun pertama beliau di Madinah.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Anas Ibnu Malik, Rasulullah saw. mencatatkan perubahan penting dalam tradisi perayaan umat Islam di Madinah. Sebelum kedatangan beliau, masyarakat merayakan dua hari dengan bermain-main, tetapi Rasulullah Saw mengubahnya menjadi hari yang lebih bermakna secara spiritual, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.
عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ اْلأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ. [رواه أبو داود والنسائي]
“Diriwayatkan dari Anas Ibnu Malik ia berkata: Rasulullah saw. tiba di Madinah (dan beliau melihat) mereka mempunyai dua macam hari yang mereka meriahkan dengan permainan. Beliau bertanya: Hari apa ini? Mereka menjawab: Di zaman Jahiliyah kami memeriahkannya dengan permainan. Lalu Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya Allah telah mengganti kedua hari ini untuk kamu dengan yang lebih baik, yaitu Idul Adlha dan Idul Fitri.” [HR. Abu Dawud dan an-Nasa’i].
Perubahan ini menegaskan bahwa hari raya Idul Fitri bukan hanya tentang kesenangan duniawi, tetapi juga tentang penghormatan kepada Allah Swt melalui ibadah yang khusus. Salat Idul Fitri menjadi wujud syukur atas nikmat berakhirnya bulan suci Ramadan dan momen untuk mempererat tali persaudaraan umat Islam dalam kebersamaan beribadah.
Dengan demikian, salat Idul Fitri bukan hanya sebuah ritual, tetapi juga sebuah simbol kebersamaan dan penghormatan kepada ajaran Islam. Melalui ibadah ini, umat Islam mengingat kembali nikmat dan rahmat Allah yang melimpah, serta memperkokoh ikatan spiritual dengan Sang Pencipta.
Referensi:
Buku Tuntunan Idain dan Qurban, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, terbitan Suara Muhammadiyah.
