MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Berdasarkan QS. Al Baqarah ayat 233, seorang ayah diwajibkan untuk menanggung kebutuhan hidup istrinya (ibu yang menyusui anaknya) baik masih berstatus istri ataupun sudah diceraikannya secara patut sesuai dengan kemampuan suami. Kewajiban ini bermanfaat supaya ibu dapat melaksanakan kewajiban terhadap bayinya dengan sebaik mungkin tanpa dibebani oleh pikiran dan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal yang harus dipahami bersama, bahwa menyusui itu bukan pekerjaan yang mudah untuk dilakukan oleh seorang ibu.
“Menyusui itu membutuhkan energi, keterlibatan rohani dan jasmani. Karena itu, para suami dituntut untuk membantu istrinya supaya dapat melaksanakan tugas berat ini, terutama dalam hal memenuhi kebutuhan makan dan pakaiannya. Selain mencukupi kebutuhan hidup, suami juga diharapkan membantu meringankan beban pikiran dan jasmani, membesarkan hati, memberikan perhatian, dan memberikan motivasi, agar tugas ini terasa lebih ringan dan bisa dilakukan dengan baik oleh istri,” tutur Nur Kholis dalam kajian yang diselenggarakan Masjid Islamic Center UAD pada Rabu (01).
Nur Kholis menerangkan bahwa QS. Al Baqarah ayat 233 ini khusus untuk istri yang telah ditalak. Artinya, ayah diwajibkan memberi makanan dan pakaian sebagai imbalan dari penyusuan kepada istri yang ditalak. Adapun untuk ibu yang berstatus istri, maka kewajiban memenuhi kebutuhan makan dan pakaian itu adalah atas dasar hubungan suami istri. Karena itu, kalau ibu menuntut pembayaran atas penyusuan yang dilakukannya, suami wajib memenuhi apabila tuntutan itu wajar.
Namun, kata Nur Kholis, ada juga yang berpendapat bahwa pemberian makanan dan pakaian ini adalah sebagai nafkah kepada wanita disebabkan hubungan suami istri, bukan ujrah/upah. Sehingga tidak timbul pemikiran bahwa setiap ibu pasti menerima upah dari penyusuan anaknya. Karena itulah ayat ini dimulai dengan lafal wa-l-walidatu.
Dalam ayat ini, ayah disebut dengan al-mawlud lah bukan al-walid, padahal keduanya mempunyai pengertian yang sama. Maksudnya adalah untuk menjelaskan bahwa anak itu kepunyaan ayah bukan kepunyaan ibu. Anak juga dibangsakan kepada ayah bukan kepada ibu. Sehingga seakan-akan para ibu hanya melahirkan anak untuk suami mereka. Dengan demikian, karena ibu telah mengandung anak ayah dan menyusuinya, maka diwajibkan kepada ayah (suami) untuk memberikan nafkah yang cukup kepada ibu (istri) agar ia dapat melaksanakan tugasnya, menyusui dan menjaga bayinya dengan baik.
“Hendaklah nafkah yang diberikan itu sesuai dengan keadaan istri dan tingkat kebutuhan dimana ia hidup, serta disesuaikan dengan kemampuan suami,” terang Nur Kholis.