MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Dalam Fikih Muamalah, istilah pinjam-meminjam disebut dengan Ariyah atau I’arah. Dalam kitab Al-Fiqh al-Minhaji, Ariyah atau I’arah adalah perizinan penggunaan manfaat barang yang dibolehkan (oleh agama) tanpa mengurangi fisik barang. Kebolehan ini berdasarkan ayat-ayat Al Quran, salah satunya: “Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa” (QS. Al-Maidah: 2).
“Sejak kita kecil, kita sudah terbiasa dengan pinjam-meminjam. Entah itu alat tulis, penghapus, dan lain-lain. Pinjam-meminjam juga sering dilakukan orang dewasa, mulai dari uang hingga bahan pokok lainnya,” ucap Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Mukhlis Rahmanto dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (12/10).
Menurut Mukhlis, terdapat beberapa unsur di dalam konsepsi ariyah, yaitu: 1) pihak yang meminjamkan, di mana harus orang yang memenuhi kriteria sebagai ahli tabarru (tasaruf non komersil) dan pemilik barang; 2) Si peminjam (yaitu mereka yang sah secara hukum menerima akad tabarru’); 3) barang yang dipinjamkan (musta’ar) dimana memiliki potensi bisa dimanfaatkan, manfaatnya merupakan milik pihak yang meminjamkan, pemanfaatannya dibolehkan oleh agama, dan pemanfaatannya tidak berpotensi mengurangi nilai fisik barang; dan 4) Shighat ijab Kabul yang menunjukan perizinan penggunaan manfaat barang.
Selain itu, terdapat perbedaan antara ariyah dan al-qard. Menurut Mukhlis, ariyah terkait dengan perizinan pemanfaatan barang (intifa’) dan bukan kepemilikan barang (meski Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat pemberian kepemilikan barang [tamlik]). Sedang Qardh terkait dengan pemindahan hak dan kepemilikan.
Adapun perbedaan ariyah dan al-qard ialah memiliki manfaat dan waktunya dikembalikan kepada pemiliknya. Sedang perbedaannya terletak pada barang itu sendiri. Jika pada ariyah barang yang dipinjamkan tidak diganti atau ditukar dengan barang baru, sedang dalam qardh barang itu diganti atau ditukar dengan artian hanya nilai atau sifat yang tetap.