MUHAMMADIYAH.OR.ID, SAMARINDA—Teknologi digital menurut Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah, Yono Reksoprodjo akan mengantar manusia kepada borderless teritori. Di sisi lain, teknologi digital sebagai kanal penyaluran manajemen persepsi juga menjadi ancaman bagi persatuan bangsa Indonesia.
Dalam acara seminar Pra Muktamar Muhammadiyah – ‘Aisyiyah ke-48 pada (21/4) ini, Yono menjelaskan bahwa globalisasi akibat teknologi digital lebih ke arah pertukaran informasi. Tidak bisa dipungkiri bahwa, globalisasi akibat dari jaringan internet – teknologi digital juga menimbulkan konflik atau perang.
Mengutip ahli strategi, perang dikategorikan menjadi tiga jenis yakni perang konvensional, perang asimetrik, dan perang hybrid. Yono menyebut bahwa, setidaknya ada lima dimensi perang yang meliputi darat, laut, udara, ruang angkasa, dan informasi.
“Yang unik ini adalah perang informasi, karena ternyata untuk dikaitkan dengan perang, informasi menjadi hal yang sangat-sangat dipentingkan,” ungkapnya.
Dalam keadaan perang atau normal, informasi biasa digunakan untuk membangun persepsi. Manajemen persepsi digunakan untuk melakukan intervensi kepada kelompok masyarakat agar berlaku sesuai kehendak pembuat ‘meme’.
Dalam konteks Indonesia, menurut Yono intervensi kepada masyarakat Indonesia lebih mudah, karena lebih emosional. Mengantisipasi hal itu, Yono menyebut bahwa local wisdom di Indonesia sebagai basis pertahanan terhadap ancaman persepsi ini.
Indonesia sebagai negara yang super majemuk, dengan ratusan kelompok etnik, ribuan suku bangsa, ratusan bahasa di satu sisi menjadi mozaik kekayaan, namun disisi lain menjadi suatu yang kritikal sebab rawan untuk ancaman perpecahan.
Selain itu, dimensi lain yang perlu untuk diwaspadai oleh Indonesia adalah dimensi sosial, lingkungan, kesehatan, dan ekonomi. Menurutnya, ketegangan yang saat ini muncul di internal masyarakat Indonesia lebih dikarenakan adanya sekelompok orang yang memanfaatkan teknik manajemen persepsi untuk kepentingan diri dan pihaknya.
“Banyak sekali orang yang mendaftarkan diri sebagai pekerja buzzer rupiah, mereka ini proxy atau innocence proxy. Ini adalah kelompok yang muncul dalam catatan saya di saat Pilkada DKI 2012”. Ungkapnya.
Yono melanjutkan, sebenarnya buzzer ini sudah ada sebelum itu, tapi perkembangan teknologi yang pesat baru dimanfaatkan dan massif digunakan ketika Pilkada DKI 2012. Pekerja buzzer ini menjadi potensi bahaya tersendiri bagi kesatuan bangsa, ia berharap regulasi bisa diperkuat dalam pelaksanaannya.
“Kalau masa krisis nanti masuk, apa yang sudah kita buat di masa penguatan dan pencegahan, harus bisa membuat rencana pemulihan. Tapi kalau kita tidak menyiapkan diri dan menyepelekan yang terjadi, maka kemungkinan besar kita akan masuk ke suasana chaotic dan mungkin saat itu kita hanya bisa berdoa,” tandasnya.