MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Radikalisme sebagai konsep sebenarnya netral dalam dunia pemikiran dan gerakan. Menjadi keliru manakala memaknai radikal dan radikalisme sebagai identik dengan kekerasan. Lebih-lebih dinarasikan sebagai paham yang dapat menyebabkan pengikutnya menjadi teroris. Narasi ini jelas bersandar pada pemaknaan yang kurang tepat.
Dalam seminar nasional yang diselenggarakan Universitas Ahmad Dahlan pada Sabtu (06/11), anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Ustadi Hamsah berpendapat bahwa istilah yang tepat untuk menggambarkan tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengusung perubahan yang diinginkan, bukan radikalisme melainkan ekstremisme.
“Para pengkaji untuk meneliti tentang tindak kekerasan tidak lagi memakai radikalisme, saat ini mereka menggunakan istilah ekstremisme. Terorisme sebagai turunan dari radikalisme juga cenderung dihindari oleh para pengkaji,” kata dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini.
Benih-benih ekstremisme bisa ditemukan di banyak tempat tidak hanya dalam ruang lingkup keagamaan, namun juga bisa terjadi dalam sosial, politik, ekonomi. Pakar Studi Islam ini kemudian mengemukakan karakter ekstremisme, di antaranya: penolakan terhadap perbedaan dan keragaman, penggunaan kekuatan fisik lebih diutamakan dari pada tindakan persuasif, berpikir tertutup, dan meniscayakan sebuah tindakan yang rasional dalam melihat suatu masalah.
Ustadi Hamsah mengatakan bahwa dalam mengatasi gejala ekstremisme ini tidak bisa menggunakan deradikalisme. Paradigma deradikalisme menimbulkan benturan karena ekstrem dilawan ekstrem dalam oposisi biner yang sama-sama monolitik. Karenanya, jawaban dalam mengatasi ekstremisme ialah dengan jalan moderasi baik dalam kehidupan keagamaan maupun kebangsaan.
QS. Al-Baqarah ayat 143 merupakan salah satu teks keagamaan yang secara gamblang menunjukkan moderasi itu. Allah berfirman “Dan demikian Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), ummatan wasathan agar kamu menjadi syuhada terhadap/buat manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi syahid terhadap/buat kamu…” (QS. Al-Baqarah: 143).
“wasath atau tawasuth atau moderat itu paradigma berpikir dan bertindak yang mengedepankan moderasi, proporsionalitas, dan tidak condong ke sikap tatharuf, tidak ke kiri jauh dan tidak ke ujung kanan pula. Namun, moderat juga bukan berarti diam pasif di tengah, melainkan aktif mengambil berbagai perspektif,” tutur Ustadi.
Karakter khas pemikiran moderat bukan pasif berdiam di tengah tanpa menyapa beragam aliran dari kiri jauh sampai kanan ujung. Menurut Ustadi, prinsip moderat itu unity of opposites atau mampu mengambil pandangan dari ragam perspektif untuk melahirkan tindakan yang secara substansial mengedepankan harmonitas dan proporsionalitas.
“Cara pandang moderat itu tidak hanya berada di tengah tapi mampu mengumpulkan berbagai perspektif-perspektif yang ada. Jadi ada peran aktif, bukan diam diri di tengah, tetapi ada aksi mengumpulkan ragam perspektif untuk melakukan tindakan yang proporsional,” tegas dosen filsafat Islam Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah ini.
Ustadi menuturkan bahwa Muhammadiyah telah mampu mengembangkan metode istinbath hukum yang sejatinya berdiri di jalan tengah, mengawinkan tradisi dan inovasi, keteguhan iman dan toleransi. Walau terkesan sebagai gerakan puritan di satu sisi, jauh di dalam diri Muhammadiyah ini bersemayam kelenturan dan kemodernan.
Muhammadiyah menempatkan tajdid secara proporsional. Hal tersebut sesuai dengan kaidah usul fikih yang menegaskan bahwa hukum dasar dalam ibadah (mahdlah) adalah haram sampai benar-benar ada dalil yang mengaturnya. Sehingga dalam persoalan ibadah, segala ukuran, waktu, volume, harus disesuaikan dengan dalil. Sementara itu, hukum dasar muamalah adalah mubah sampai benar-benar ada dalil yang melarangnya. Artinya, segala kegiatan sosial dibolehkan kecuali unsur-unsur yang telah tegas dilarang dalam agama.
“Muhammadiyah telah melakukan unity of opposites dengan mengawinkan semangat modernitas Barat dan tradisionalitas Timur. Meski demikian dasar pijakannya Al Quran dan Al Sunah. Maka tanggungjawab kita adalah merawat jiwa ini untuk diaplikasiikan di masyarakat demi kemajuan semuanya,” pesan Ustadi.