MUHAMMADIYAH.OR.ID, PERLIS — Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan bahwa masalah umat Islam di tingkat global maupun regional dan lokal pada saat ini sangatlah kompleks.
Masalah tersebut terjadi baik yang ditimbulkan oleh kaum muslimun sendiri maupun terkait dengan dunia luar, di antara: Pertama, perpecahan dan konflik di lingkungan umat Islam.
“Kehadiran ISIS (Islamic State in Iraq and Syria) menambah keras dan kompleks dunia Islam, sehingga Kawasan Muslim tidak menjadi kekuatan yang disegani di ranah global. Harapan Kebangkitan Islam 15 Hijriyah makin lama makin redup dan menjauh dari sumbunya,” ujar Haedar dalam Diskusi Peradaban Serumpun seri pertama bersama Perlis Malaysia pada Senin (27/09).
Kedua, ketertinggalan umat Islam di bidang ekonomi, pendidikan, serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akibatnya kaum muslimun kalah daya saing di hadapan golongan dan bangsa lain. Kondisi kaum muslim mayoritas masih “yad as-sufla” (tangan di bawah) dan belum “yad al-ulya” (tangan di atas) atau “menjadi santapan” pihak lain.
Ketiga, masalah multikulturalisme yaitu meluasnya pengaruh demokrasi, hak asasi manusia, dan pluralisme yang bercorak liberal-sekular dan berparadigma Barat. Meski banyak hal yang perlu dikritisi, tetapi tidak sedikit pula aspek multikulturalisme yang positif dan menyangkut hajat hidup publik seperti keterbukaan, kesetaraan, penghargaan terhadap hak-hak manusia, serta jaminan hidup damai dan toleran dalam kebhinekaan.
Keempat, masalah globalisasi dan revolusi teknologi informasi. Meski banyak aspek positif dari kehadiran teknologi informasi termasuk media sosial, tetapi terdapat dampak buruk, antara lain masyarakat mengalami erosi “dignity” atau etika kesopanan. Belum lagi tantangan Kecerdasan Buatan (AI) dan Rekayasa Genetik yang semakin hari semakin mereduksi ajaran agama.
Solusi Memecahkan Permasalahan Umat
Haedar mengutarakan dua solusi atas permasalahan di atas, di antaranya: Pertama, mengembangkan Tafsir Al-Quran dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani yang interkonesitas. Kedua, mengembalikan fikih dan ushul fikih ke aselinya sebagai metode memahami dan mewujudkan ajaran Islam multiaspek untuk menjawab permasalahan umat, bangsa, dan kemanusiaan semesta yang sejalan dengan perkembangan zaman.
“Langkah tajdid merupakan pilihan utama menghadapi permasalahan dan perkembangan zaman. Tajdid rekonstruksi atau usaha membangun kembali fikih dan pemikiran Islam yang komprehensif, multiaspek, dan multiparadigmatik dapat dikembangkan sebagai perspektif alternatif (at-tafkir al-badil),” ujar Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.
Solusi selanjutnya yang ditawarkan Haedar adalah melakukan integrasi atau keterhubungan antara agama, ilmu, dan filsafat. Penguatan filsafat, ilmu kalam, dan logika sesuai paradigma Islam sangatlah penting. Hal tersebut akan membawa ragam mazhab pemikiran untuk berdialog lintas batas. Dalam khazanah pemikiran keislaman di abad pertengahan, misalnya, umat Islam terbiasa berdialog dengan para penganut Aristotelian, Neo Platonis, hingga polemik Al-Ghazali dan Ibn Rusyd, di mana pengaruh filsafat Timur dan Barat menemukan “melting pot”.
“Dunia Islam di masa kejayaan justru dimeriahkan oleh gerakan berpikir dan pemikiran yang luar biasa. Selain ilmu keislaman khusus yang melahirkan kebinekaan mazhab, juga terjadi perkembangan pesat di bisang sains, filsafat, ilmu kalam, soiologi, ilmu politik, dan logika,” kata mantan jurnalis majalah Suara Muhammadiyah ini.
Di akhir paparannya, Haedar menegaskan bahwa Rekonstruksi fikih dan pemikiran keislaman di era modern abad ke-21 dalam menangani permasalahan umat, bangsa, dan kemanusiaan semesta merupakan perwujudan dari aktualisasi risalah Islam “rahmatan lil-‘alamin” di era kemajuan zaman sesuai kredo “Al-Islam shalihun li-kulli zaman wa makan”!