MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA— Dalam menentukan suatu hukum, Manhaj Tarjih Muhammadiyahn menggunakan dua metode, yaitu: metode asumsi integralistik dan metode asumsi hierarkis.
Menurut Syamsul Anwar, metode asumsi integralistik merupakan kumpulan dalil-dalil baik yang berkaitan langsung maupun yang tidak langsung tentang suatu persoalan kemudian dikoroborasikan.
“Integralistik itu berarti sumber-sumber material syariah itu tidak bisa digunakan secara satu persatu, secara mandiri, misalnya, dapat satu hadis terus berfatwa, tidak bisa seperti itu. Kalau ketemu satu hadis harus mencari hadis baik yang sepadan maupun yang menentangnya kemudian dikaitkan dengan al-Quran,” terang Syamsul dalam acara Kajian Hakim Bersinar pada Rabu (01/09).
Sedangkan metode asumsi hirarkis adalah suatu anggapan bahwa norma itu berlapis dari norma yang paling bawah hingga norma paling atas. Syamsul menerangkan apabila lapisan norma tersebut dilihat dari atas ke bawah maka lapisan norma pertama ialah nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah), kemudian prinsip-prinsip umum (al-ushul al-kulliyah), dan lapisan paling bawah ketentuan hukum praktis (al-ahkam al-far’iyyah).
Nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah) merupakan pokok-pokok universal ajaran Islam. Syamsul menerangkan bahwa al-qiyam al-asasyyah atau nilai-nilai dasar tersusun dalam tiga kategori, yaitu: nilai dasar teologis (al-qiyam al-‘aqidah/al-ilahiyyah) seperti tauhid, nilai dasar moral (al-qiyam al-khuluqiyyah) seperti keadilan, dan nilai dasar yuridis (al-qiyam al-syar’iyyah) seperti kemaslahatan.
Sedangkan prinsip-prinsip umum (al-ushul al-kulliyah) merupakan turunan dari nilai dasar dan abstraksi dari lapisan norma di bawahnya. Isinya berupa kaidah-kaidah Hukum Islam (al-qawa’id al-fiqhiyyah) dan asas-asas Hukum Islam (an-nazariyyat al-fiqhiyyah). Peran prinsip-prinsip umum ini, kata Syamsul, juga sebagai jembatan yang menghubungkan nilai dasar dan ketentuan praktis.
Sementara ketentuan hukum praktis (al-ahkam al-far’iyyah) merupakan norma-norma konkret yang memuat hukum taklifi (halal-haram) dan wad’i (syarat-sebab). Jadi, menurut Syamsul, cara berijtihad di lingkungan Muhammadiyah tidak langsung halal, haram, makruh, mubah, atau sunah, namun harus melalui serangkaian nilai-nilai dasar dan prinsip-prinsip umum terlebih dahulu.
“Jadi, fikih itu dalam pandangan Majelis Tarjih bukan langsung halal dan haram. Tapi fikih itu ada nilai-nilai dasar atau ajaran universal agama Islam seperti keadilan, tauhid, kemasalahatan, ini menjadi landasan bagi seluruh fikih,” imbuh Guru Besar Hukum Islam UIN Sunan Kalijaga ini.
Syamsul kemudian memberikan contoh sederhana penggunaan metode asumsi hirarkis ini, misalnya: nilai dasar kemaslahatan, diturunkan ke prinsip umum bahwa al-masyaqqatu tajlib al-taysir atau kesulitan membawa pada kemudahan, maka norma praktisnya adalah kebolehan berbuka puasa bagi orang yang berada dalam perjalanan atau sakit.