MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA – Sejak awal berdiri, Muhammadiyah banyak dikenal orang sebagai gerakan pemurnian akidah. Meskipun, pemurnian akidah Muhammadiyah lebih pada mengubah cara berpikir masyarakat agar tidak mendikotomikan antara agama dan dunia.
Dalam Musypimwil III Muhammadiyah Jawa Timur, Sabtu (18/9) Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menyebut bahwa tidak ada referensi khusus yang menjadi patokan gerak pemurnian akidah atau tauhid Muhammadiyah sejak awal.
Fakta ini, bagi Haedar dianggap cukup membuka ruang bagi Majelis Tarjih untuk mengeksplorasi dan menentukan corak pemikiran Tauhid Muhammadiyah.
“Ketika kita menghadapi pandemi, kita kan selalu rujukan tauhid iya, absolut, tapi tauhid yang seperti apa? Lalu Tarjih menjelaskan bahwa Tauhid itu bukan hanya hablum minallah, tapi juga hablum minannas. Dimensi tauhid yang mengkorelasikan dua hablum ini itu kan burhani sebenarnya,” kata Haedar mengutip Surat Ali Imran ayat 112.
Haedar mengatakan bahwa sejauh pembacaannya, Muhammadiyah juga belum memiliki tentang konsensus sistem Tauhid yang digunakan, apakah Tauhid 20 sifat (Asy’ariyah) atau Tauhid 3 sifat sesuai konsep Sa’id Hawa yakni Uluhiyah, Mulkiyah dan Rububiyah.
Mantan tokoh Muhammadiyah yakni Mukti Ali bahkan disebutnya pernah mengusulkan agar Asmaul Husna dijadikan Tauhid Muhammadiyah.
Meskipun sistem tauhid itu masih belum konsensus, tapi Haedar bersyukur karena berbagai rumusan resmi Muhammadiyah telah menyiratkan corak Tauhid yang digunakan Persyarikatan.
Misalnya, dapat dilihat pada kesatuan pokok pikiran pertama, kedua dan keempat di dalam Mukadimah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah. Yaitu sistem akidah Tauhid yang penuh dengan unsur pembebasan manusia dari keadaan dhuafa dan mustadh’afin.
“Mungkin kita ini alpa ya mengkaji pikiran-pikiran resmi Muhammadiyah karena mungkin terlalu indoktrinatif tadi, padahal di dalamnya kaya sekali. Ini baru satu, nanti bisa dibuka matan keyakinan bahkan Kepribadian sekalipun,” pesan Haedar.
Terakhir, Haedar berpesan agar dokumen dan pikiran organisasi itu terus menerus dikaji dan diresapi agar gerak Muhammadiyah tetap sejalan sesuai dengan identitas gerakan pemurnian yang dilakukan oleh pendirinya, yakni Kiai Ahmad Dahlan.
“Jadi bagaimana kita membumikan tauhid itu memperluas cakrawala wawasan kita tentang tauhid agar tidak terjebak dalam pandangan yang parsial tentang tauhid itu sendiri dan kemudian pada saat yang sama membumikan tauhid itu dalam realitas kehidupan yang kompleks, juga dengan pendekatan-pendekatan yang bisa membawa pada kemaslahatan hidup kemudian bisa memahami hidup dengan penuh makna sebagaimana Islam mengajarkan, sehingga kita tidak terjebak pada pemikiran awam,” tuturnya.
“Artinya bahwa kita yang di Muhammadiyah ini bukan orang-orang awam karena terdidik sejak awal. Wal takun minkum itu kan bukan menjadi orang awam, tapi menjadi orang yang khairu ummah, terpilih sehingga bersikap bertindak kita itu bil ilmi,” tegasnya.