MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Ciri khas yang paling melekat pada diri seorang Kiai Dahlan yang berbeda dengan tokoh pembaharu lainnya semisal Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha adalah mampu melahirkan pranata modern dalam wujud lembaga.
Demikian diungkapkan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam kajian Menyambut Tahun Baru Islam 1443 Hijriyah pada Senin (09/08).Pemikiran berkemajuan Kiai Dahlan dalam mewujudkan struktur kelembagaan merupakan sikap yang perlu ditelaah lebih jauh. Haedar menyebut beberapa dua poin agar apa yang telah dilakukan Kiai Dahlan diwarisi warga persyarikatan, di antaranya: pemikiran untuk membangun (al-tafkir lil-bana), pemikiran untuk perubahan (al-tafkir lil-tagyir), dan pemikiran untuk kemajuan (al-tafir lil-taqdim).
“Kiai Dahlan meletakan dasar itu dan terus berkembang, tapi boleh jadi bahwa di saat sekarang mulai ada kesempitan dan kesenjangan di mana warga dan elit Muhammadiyah tidak sampai ke paradigma pemikirannya,” ungkap Haedar.Apabila pemikiran untuk membangun (al-tafkir lil-bana), pemikiran untuk perubahan (al-tafkir lil-tagyir), dan pemikiran untuk kemajuan (al-tafir lil-taqdim), dilekatkan dengan semangat ZIS dan amal usaha, maka mesti akan ada kapitalisasi. Haedar tidak ingin bila umat Islam justru berpandangan sebaliknya.
“Ayat-ayat maupun hadis Nabi Saw tentang zakat itu semaunya fiil amr yang menyuruh agar kita menjadi orang yang punya. Tidak mungkin seseorang itu bisa tidak punya sesuatu yang akan dizakati,” tutur Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.Haedar menyimpulkan jika ingin mengembangkan ZIS dan amal usaha, maka harus ditumbuhkan pandangan yang konstruktif tentang Islam dan kehidupan.
Ia menyayangkan betapa banyaknya pesan dari para muballigh yang justru memiliki pandangan kontra-konstruktif seperti mengabaikan kehidupan di dunia. Padahal peran manusia sebagai khalifah di muka bumi telah menunjukkan bahwa dunia merupakan aspek penting untuk dirawat dan dimakmurkan.
“Banyak muballigh yang bilang untuk apa mengejar dunia. Padahal Islam itu mengajarkan dan menempatkan kita sebagai khalifah di bumi. Kalau khalifah itu harus memakmurkan bumi. Untuk memakmurkan bumi harus jadi ism fail!” tegas Haedar.
Karenanya, paradigma akhirat sebenarnya beriringan dengan dunia. Ketentuan bahwa satu-satunya tugas manusia sebagai makhluk ciptaan Allah adalah untuk beribadah memang tidak dapat didustakan. Namun kenyataan bahwa manusia hidup di dunia juga tidak dapat dikesampingkan. Haedar mengajak agar umat Islam tidak terus-terusan berpandangan negatif terhadap dunia.
“Tidak mungkin umat Islam bisa maju kalau kita sendiri mengajarkan pada generasi kita negatif terus tentang dunia. Akibatnya umat Islam tidak suka pada orang kaya, tidak suka pada yang berkuasa, tidak suka berilmu tinggi karena takut jadi anti tuhan,” kata Haedar.
Apa yang disampaikan Haedar sejatinya ingin membangun paradigma konstruktif agar lembaga ZIS dan amal usaha dapat berkembang pesat. Pasalnya, lembaga ZIS dan amal usaha tidak akan berkembang bila nalar berpikirnya selalu menaruh curiga dengan segala hal yang berkaitan dengan keduniawian.