MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA— Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Syamsul Anwar menerangkan bahwa paham agama dalam Muhammadiyah meyakini adanya realitas ganda (tsunaiyatil wujud). Pasalnya, Allah menciptakan segala sesuatu sehingga Dialah wajib al-wujud, sementara apa yang Dia ciptakan sebagai mumkin al-wujud.
“Tuhan itu bersifat wajib al-wujud, keberadaannya niscaya dan tidak tergantung pada yang lain. Jadi paham yang agama yang diyakini Muhammadiyah ini dunia ini sesuatu yang diciptakan dan ada penciptanya yaitu Allah. Berarti selain Allah adalah mumkin al-wujud,” terang Syamsul dalam acara yang diselenggarakan Universitas Muhammadiyah Surakarta pada Rabu (07/07).
Pandangan ini sejalan dengan para filsuf muslim semisal Ibnu Sina yang konsisten menggambarkan Allah sebagai wajib al-wujud (wujud yang pasti ada). Menurutnya, fi anna wajib al-wujud wahid (tetapi yang wajib ada itu hanya satu). Kerangka kerja seperti ini muncul karena sejumla filsuf muslim lainnya seperti al-Kindi, Al-Ghazali, dan Ibn Rusyd, mewarnai filsafat dengan pandangan hidup Islam.
Syamsul kemudian menerangkan bahwa ahli tasawuf mengatakan sebaliknya, yaitu realitas itu hanya satu dikenal dengan paham “wahdatul wujud”. Paham ini mengenalkan bahwa wujud hanya ada satu yang ditempati Allah semata dan benda-benda selain Allah hanyalah bayangan, yang hakikatnya bukan wujud. Menurut Syamsul, pandangan ini diyakini oleh Ibnu Arabi, Abdul Karim al-Jili, Hamza Fansuri, dan sejumlah sufi lainnya.
“Karena itu dalam pandangan sufi alam ini hanya suatu bayangan. Bahkan Abdul Karim Al-Jili mengatakan sebagai suatu yang hampa, sebagai khayalan. Karena itu dia tidak bisa menjadi tujuan dari hidup manusia, kita harus meninggalkannya, dunia tidak terlalu penting, begitu paham para sufi,” tutur Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini.
Konsekuensi epistemologi dari paham sufi yang menganggap realitas itu hanya satu (wahdat al-wujud) adalah sulit mengembangkan ilmu pengetahuan alam. Pasalnya, Syamsul menerangkan bahwa sistem epistemologi yang mereka pakai dalam memperoleh pengetahuan adalah dengan cara zauq atau kesadaran batin. Sementara itu, konsekuensi aksiologisnya akan melahirkan sikap anti dunia dan menganggap kehidupan ini kotor.
Sementara dalam paham Muhammadiyah, realitas itu ganda (tsunaiyatil wujud) sehingga konsekuensi epistemologinya adalah dapat mengembangkan dan memperoleh pengetahuan dari wahyu dan alam. Pada level aksiologisnya, Muhammadiyah memandang bahwa dunia adalah sesuatu yang penting sebagai tempat beramal dalam rangka menuju keselamatan di akhirat.
“Dengan meyakini realitas ganda, kita dapat mengembangkan pengetahuan burhani yang menjadi penting bagi manusia. Aksiologinya dunia ini penting. Kalau tadi paham sufi, dunia tidak terlalu penting, karena dianggap sebagai khayalan. Bagi Muhammadiyah, dunia itu ada, riil,” kata Syamsul.