MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA— Dalam memahami Islam, Muhammadiyah menggunakan tiga pendekatan yakni bayani, burhani, dan irfani. Ketiga epistemologi Islam tersebut secara nampak memang memiliki basis dan karakter yang berbeda. Pengetahuan bayani didasarkan pada teks, burhani pada rasio, dan irfani pada intuisi. Menurut Syamsul Anwar, penggunaan ketiga pendekatan tersebut dilakukan secara berkelindan.
“Bayani itu pendekatan dengan melihat pada al-Quran, Hadis, kaidah-kaidah fikih, dan lain-lain. Burhani ini berdasarkan temuan-temuan ilmu pengetahuan, kita memanfaatkan hasil dari ilmu pengetahuan, baik sosial, alam, maupun ekonomi,” terang Syamsul dalam acara yang diselenggarakan Universitas Muhammadiyah Surakarta pada Rabu (07/07).
Sementara itu, banyak yang mengalami kebingungan dengan validitas irfani sebagai pendekatan dalam istinbat hukum. Sebab irfani tidak mempedomani teks-teks yang bersumber dari otoritas dan tidak pula menggunakan kaidah membaca teks yang disepakati. Selain itu, proses pencarian pengetahuan irfani juga tidak berdasarkan aturan atau kaidah logika dan tidak pula berdasakan data empirik.
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini kemudian menjelaskan bahwa irfani bukanlah sumber pengetahuan diskursif namun dapat berperan sebagai pengendali. Dengan kata lain, posisi irfani berperan sebagai penyeimbang dari tekstualisme bayani dan liberalisme burhani. Karenanya, keberadaan irfani diperlukan sebagai pengembangan nurani agar tidak telalu rigid dan juga tidak terlalu bebas.
“Jadi, tiap-tiap ijtihad itu harus bersumber pada pengembangan dan kesadaran nurani yang mendalam. Tidak hanya semata-mata mengagungkan akal. Itulah pendekatan dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah,” tegas Guru Besar Hukum Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini.