MUHAMMADIYAH.OR.ID, BANTUL—Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir mengakui bahwa potensi kekuatan umat Islam Indonesia besar, baik dari segi luas Negara dan sumber daya alamnya, serta stabilitas demokrasi meskipun dengan catatan.
Namun dalam 5 tahun terakhir dirinya menyayangkan energi bangsa maupun umat ini yang terkuras, namun tidak tahu peruntukkannya bagi siapa.
“Umat Islam Indonesia selain mayoritas juga memiliki peran besar di dalam peran kemerdekaan, kebangkitan nasional sampai Indonesia merdeka,” tuturnya pada Ahad (21/3) dalam diskusi bersama Alumni Guru Besar HMI.
Khusus kepada kelompok Islam modernis yang sejak awal sejarah perjuangan kemerdekaan sampai paska kemerdekaan, perannya cukup dominan. Kelompok modernis ini, kata Haedar, menjadi jembatan yang mampu berdialog dengan kaum nasionalis dan lulusan pendidikan Barat.
Peran strategis kelompok ini berlangsung sampai pada masa Orde Baru melalui generasi penerusnya.
Haedar menilai, keberlangsungan estafet peran kelompok modernis disebabkan oleh proses mengalir melalui proses pendidikan umum yang ditempuh oleh keluarga kelompok modernis. Di sisi lain pada kelompok Islam tradisional kemudian pada tahun 1980-an memacu mengejar ketertingalan.
“Kita senang bahwa arus besar ini juga masuk ke dunia modern yang lembaga pendidikannya juga, dan akhirnya sekarang nyaris susah dibedakan antara yang kaum modernis dengan kaum tradisionalis. Semuanya menjadi modernis, semua menajdi reformis,” ungkap Haedar.
Di kesempatan ini ia juga mewanti-wanti untuk kelompok modernis, jangan sampai sekarang menjadi konservatif. Persoalan lain adalah pada aspek pendidikan, khususnya pada tingkat sekolah menengah. Titik simpul masalah ini masih bisa diperdebatkan, namun demikian peringkat pendidikan yang berada di titik menengah dan kebawah merupakan sebuah cermin untuk berusaha maju.
Menurut Haedar, jika dianalogikan umat Islam Indonesia secara demografis ini seperti genangan air yang tidak bisa melahirkan energy perubahan yang bergelombang besar. Karena masih mengidap problem klasik yang belum bisa terpecahkan.
Misalnya dalam konteks ukhuwah, umat Islam belum punya formula untuk mencari titik temu dan agenda strategis tanpa terpolarisasi pada kelompok.
Selanjutnya dalam menyikapi perkembangan kebangsaan bahkan di internal umat Islam, tentang isu politik dan keagamaan.
Cara berpikir umat Islam dalam memandang isu masih menggunakan kutub kanan maupun kiri. Bahkan isu yang ‘berselieweran’ ini menurutnya bisa jadi seksi untuk menjadi ‘proposal’ bagi kelompok internal umat Islam, maupun yang di luar.
“Kemudian kita tidak sampai ketemu titik problem kita itu dimana, apalagi kalau sudah jadi proyek jadi ‘jualan’. Akhirnya masing-masing berada dalam posisinya,” tegas Haedar.