MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Yatim berasal dari bahasa Arab yang berarti orang yang kehilangan (kematian) ayahnya, bukan ibunya. Anak yatim wajib disantuni karena ia kehilangan ayah yang wajib menanggung nafkahnya. Namun demikian, orang yang kehilangan (kematian) ibunya tetap wajib disantuni sebagaimana halnya anak yatim. Apalagi kalau kehilangan (kematian) kedua orang tuanya sekaligus.
Adapun piatu adalah istilah dalam bahasa Indonesia untuk sebutan bagi anak yang kehilangan (kematian) ibunya. Sehingga anak yang kehilangan (kematian) ayah dan ibunya sering disebut dengan yatim piatu. Masa keyatiman seorang anak itu ada batasnya, yaitu ketika ia telah baligh dan tampak rusyd (kemandirian) pada dirinya.
Firman Allah SWT: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” [QS. an-Nisa’, 4: 6].
Banyak hadits yang menganjurkan kita untuk memelihara dan menyantuni anak yatim, antara lain: “Diriwayatkan dari Sahl, Rasulullah saw bersabda: Aku dan pemelihara anak yatim, di surga seperti ini. Lalu beliau mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah dan merenggangkan di antara keduanya sedikit.” [HR. Al-Bukhari].
Ada pula hadis: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: ‘Pemelihara anak yatim kepunyaannya (masih ada hubungan keluarga) atau kepunyaan orang lain (tidak ada hubungan keluarga), dia dan aku seperti dua jari ini di surga.’ Lalu Malik mengisyaratkannya dengan jari telunjuk dan jari tengah.” [HR. Muslim].
Berdasarkan uraian dalil di atas, secara terperinci Nabi Muhammad saw tidak memberi contoh bagaimana cara menyantuni anak yatim. Yang jelas, cara menyantuni anak yatim itu adalah dengan memuliakan, memperhatikan, memberi kasih sayang, memenuhi kebutuhan hidupnya (makan, minum, pakaian, tempat tinggal), pendidikannya, kesehatannnya dan segala sesuatu yang diperlukannya agar menjadi anak yang shalih, mandiri dan berguna.
Hadis lain: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa ada seorang laki-laki yang mengadukan kekerasan hatinya kepada Rasulullah saw, maka beliau bersabda: ‘Usaplah kepala anak yatim dan berilah makan orang miskin.’” [HR. Ahmad dengan perawi shahih].
Menurut hadits di atas, mengusap kepala anak yatim dan memberi makan orang miskin mempunyai pengaruh yang sangat baik pada diri seseorang, yaitu dapat melembutkan hati yang keras. Dalam prakteknya, kedua hal tersebut dilakukan dengan penuh keinsyafan hati secara natural (tidak dibuat-buat) atau dipaksa-paksakan). Mengusap kepala anak yatim adalah simbol atau cara menunjukkan empati dan kasih sayang, bukan ritual yang harus dilakukan. Sudah barang tentu yang diusap adalah kepala anak yatim yang belum dewasa. Adapun orang laki-laki membelai rambut anak yatim putri yang sudah menginjak usia remaja adalah dilarang karena menimbulkan fitnah.
Wallahu a’lam bish-shawab.