MUHAMMADIYAH.OR.ID, ARIZONA—Dalam kitab Al Munqidz min al-Dhalal, Abu Hamid Al Ghazali mengaku ia telah mengarungi ragam samudra pengetahuan. Pelayaran mencari pengetahuan ini ia lakukan demi mendapatkan kebenaran yang meyakinkan. Kebenaran yang tidak lagi menyisakan secuil ruang keraguan. Salah satu pengetahuan yang sempat didalaminya ialah ilmu kalam. Ilmu ini merupakan seni polemis karena dalam perkembangannya bersifat pembelaan dan pertahanan diri.
Menurut Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Amerika Serikat Muhamad Rofiq Muzakkir, pemikiran Al Ghazali tentang ilmu kalam begitu warna-warni sehingga seringkali menimbulkan diskusi di antara para pengkaji. Hal ini wajar belaka, sebab pandangannya tentang ilmu kalam tidak stagnan, melainkan mengalami evolusi seiring bertambahnya ilmu dan pengalaman.
Karena itu, Rofiq membagi tiga fase pemikiran Al Ghazali tentang ilmu kalam secara kronologis. Fase pertama Al Ghazali begitu pro terhadap ilmu kalam. Hal ini dibuktikan dengan kitab-kitab yang ia tulis. Misalnya kitab: Al-Iqtisad fi al-I’tiqad, Al-Maqshad al-Asna Fi Syarhi Ma’ani Asmau al-Husna, dan Faishal al-Tafriqah baina al-Islam wa al-Zandaqah. Kitab-kitab ini ditulis dalam rangka menjelaskan akidah Islam dari perspektif kalam. Hal ini ia lakukan sebagai tanggungjawab intelektual untuk membendung serangan-serangan pemikiran di luar Islam.
Pada fase kedua, Al Ghazali memandang ilmu kalam ini tidak berguna bagi kalangan awam. Sebagai disiplin ilmu yang bermain-main di wilayah abstrak, Al Ghazali menyarankan agar orang awam dilindungi dari pengaruh kalam karena dipandang lebih banyak merusak daripada memperbaiki keyakinan dan menguatkan akidah.
Dalam kitab Ihya Ulum al-Din, ia tegaskan bahwa menguatkan akidah orang awam, bukan dengan ilmu kalam, tetapi dengan baca al-Quran, hadis, melaksanakan ibadah, dan dekat dengan orang shalih.
“Menurut Al Ghazali, Akidahnya orang awam lebih kuat daripada akidah ahli kalam. Akidah nya orang awam laksana gunung yang kokoh. Akidahnya ahli kalam seperti seutas benang yang bergoyang-goyang ditiup angin,” kutip Rofiq dalam kajian tentang Al Ghazali pada Sabtu (17/09) yang diselenggarakan PCIM Amerika Serikat berkerjasama dengan Center for Integrative Science and Islamic Civilization (CISIC) Universitas Muhammadiyah (UMY).
Namun pada fase kedua ini, al Ghazali setuju dengan ilmu kalam dalam rangka membentengi akidah di kalangan elit terdidik yang biasa berpikir rasional. Para elit terdidik ini berperan sebagai diplomat-diplomat Islam untuk adu argumen dengan ragam pemikiran yang berkembang di luar.
Dengan kata lain, ujar Al Ghazali yang dikutip Rofiq, mutakallim harus seperti dokter: mengerti kapan waktu yang tepat memberi obat, kepada siapa, dan dengan dosis berapa. Pada fase ketiga, Al Ghazali benar-benar menolak ilmu kalam. Hal ini ia ungkapkan dalam kitab dengan judul yang tegas: Iljam al-ʿAwam ʿan ʿIlm al-Kalam (Menyelamatkan Muslim dari Ilmu Kalam). Kitab ini merupakan karya tulis terakhir yang disusun beberapa bulan sebelum wafat tahun 1111 M/505 H.
Dalam kitab ini, Al Ghazali mengatakan kalam bisa menjadi jalan keimanan kepada Allah, tetapi tidak menjadi standar pengetahuan tertinggi. Ia menyarankan agar orang-orang awam langsung menggunakan ayat-ayar Al Quran dalam memahami akidah Islam, tanpa lewat perantara kalam. Selain itu, dalam kitab yang terakhirnya itu, Al Ghazali menolak penggunaan takwil dalam menafsirkan ayat-ayat antropomorfisme (mutasyabihat).
Takwil sebagai metode pengalihan makna definitif suatu teks wahyu kepada makna lain yang dapat diterima secara rasional merupakan cara yang ditempuh sebagian besar teolog Asyariyah, mazhab yang dianut Al Ghazali sejak lama. Namun, Al Ghazali lebih memilih pandangan Hanabilah, sembari tetap mengingatkan agar jangan sampai menyamakan Tuhan dengan manusia.
“Jadi, itulah posisi Al Ghazali di akhir hayatnya yaitu kembali ke jalan salaf salih,” terang Alumni Arizona State University ini.
Hits: 59